Cegah Penyiksaan, Kewenangan Polri Harus Dibatasi
Berita

Cegah Penyiksaan, Kewenangan Polri Harus Dibatasi

Sejalan dengan rekomendasi komunitas internasional.

Oleh:
Ady
Bacaan 2 Menit

“Pola militer kuat, jadi sifatnya menghancurkan, bukan mengamankan,” kata Widodo menjelaskan tindakan yang sering dilakukan Kepolisian dalam menangani konflik di tengah masyarakat sipil.

Dalam kesempatan yang sama anggota Komnas HAM, Johny Nelson Simanjuntak, mengatakan hampir putus asa untuk mendorong perubahan di institusi Kepolisian. Berbagai macam bentuk pelanggaran, termasuk penyiksaan, yang dilakukan aparat kepolisian berdasarkan pantauan Johny, bukan hal baru.

Johny juga menyebut Komnas HAM sudah seringkali membantu lembaga Kepolisian untuk mengubah perilakunya agar bertindak sejalan dengan HAM. Caranya memberi pelatihan dan pendidikan terkait HAM. Sayangnya, tidak membuahkan hasil yang memuaskan. “Mereka tidak mau dibatasi, tapi mau bebas,” ujar Johny.

Ditambah lagi sistem internal yang ada di dalam institusi Polri terkesan carut marut. Contohnya ketika polisi mau naik jabatan, yang bersangkutan harus menyediakan dana yang cukup. Untuk memenuhi kebutuhan itu sebagian aparat minta ditugaskan di lokasi yang 'basah'. Seperti lokasi perkebunan atau pertambangan. Hal ini secara tidak langsung berkontribusi terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan aparat Kepolisian.

Sebagai bentuk kepedulian masyarakat Internasional atas tindak kekerasan dan penyiksaan yang terjadi di Indonesia, dalam sidang UPR II yang berlangsung di Jenewa, Swiss beberapa waktu lalu, sejumlah negara mengajukan rekomendasi untuk Indonesia. Diantaranya merekomendasikan agar KUHP segera direvisi dan protokol tambahan Konvensi Anti Penyiksaan (OP CAT) segera diratifikasi.

Rekomendasi itu ditujukan agar pemenuhan dan penegakan HAM di Indonesia dapat berjalan dengan baik, termasuk mengatasi dan mencegah tindak penyiksaan. Dalam sidang tersebut Komnas HAM mendapat jatah satu kursi.

Mengacu rekomendasi UPR, Johny menyebut kewenangan kepolisian harus mulai dibatasi. Selama ini Johny melihat diskresi aparat Kepolisian terlalu kuat. Salah satu contohnya dalam proses pemeriksaan, penyidikan dan penahanan yang dilakukan aparat Kepolisian. Akibatnya dalam menjalankan proses tersebut sering ditemukan tindak penyiksaan.

Sementara, Deputi Direktur Elsam, Wahyu Wagiman, mengatakan merevisi KUHP dan meratifikasi protokol tambahan Konvensi Anti Penyiksaan (OP CAT) penting dilakukan pemerintah. Pasalnya, dengan direvisinya KUHP, penyiksaan menjadi suatu bentuk kejahatan. Selama ini penyiksaan dalam KUHP diartikan dengan penganiayaan dan tidak tergolong kejahatan berat.

Akibatnya ancaman hukuman yang dijatuhkan kepada para pelaku penyiksaan sangat ringan, jika KUHP sudah direvisi maka para pelaku penyiksaan dapat dikenakan hukuman berat. Hal itu menurut Wahyu sebagai salah satu upaya untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku penyiksaan. Sehingga tindakan serupa diharapkan tidak berulang kembali.

Sedangkan salah satu keuntungan bagi masyarakat jika pemerintah meratifikasi OP CAT menurut Wahyu setiap orang dapat melakukan monitoring terhadap ruang tahanan. Baik itu tahanan di bawah lembaga Kepolisian, TNI dan lainnya. Hal itu untuk mencegah terjadinya tindak penyiksaan, karena penyiksaan kerap dilakukan di dalam ruang tahanan. “Semua bisa melakukan monitoring,” pungkasnya.

Tags: