Cegah PHK Massal, APINDO Dorong Permenaker No Work No Pay
Terbaru

Cegah PHK Massal, APINDO Dorong Permenaker No Work No Pay

Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) yang memuat prinsip no work no pay penting untuk mengatur adanya fleksibilitas jam kerja dalam rangka mencegah pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Resesi ekonomi yang terjadi secara global berdampak terhadap industri di Indonesia, terutama yang berorientasi ekspor. Ketua Bidang Ketenagakerjaan DPN APINDO, Anton J Supit, mengatakan resesi global sudah terjadi sejak pandemi Covid-19 merebak. Resesi sudah dialami negara yang ekonominya maju seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa.

Resesi global membuat pesanan dari luar negeri kepada industri sepatu dan tekstil di Indonesia mengalami penurunan. Anton mencatat penurunannya sampai 70 persen dan industri karet 40 persen. Tapi untuk ekspor ke wilayah Asia masih relatif baik. Permintaan di sektor elektronik juga mengalami penurunan. Kendati demikian untuk industri otomotif mengalami tren positif terutama untuk ekspor ke negara Timur Tengah dan Asia.

Anton menekankan industri padat karya seperti sepatu dan tekstil harus menjadi perhatian serius pemerintah. Apalagi dengan perkembangan digitalisasi yang semakin masif juga berdampak terhadap ketersediaan lapangan kerja. Dia mencatat 60 persen angkatan kerja di Indonesia berpendidikan setingkat SMP. Oleh karena itu kebijakan ketenagakerjaan yang tepat sangat diperlukan untuk menjaga indsutri padat karya.

“Tidak semua angkatan kerja kita bisa diserap di industri padat modal. Oleh karena itu, industri padat karya harus dipertahankan,” kata Anton dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR, Selasa (8/11/2022) lalu.

Anton menghitung ongkos tenaga kerja yang dikeluarkan industri sepatu dan tekstil di wilayah Tangerang mencapai 25 persen dari harga jual. Jika ongkos produksi tidak ditekan maka produk yang dihasilkan bisa kalah bersaing dengan negara lain seperti Vietnam.

Guna mencegah terjadinya PHK massal, Anton menekankan kepada pemerintah untuk serius melakukan antisipasi. Salah satu upaya bisa dilakukan Kementerian Ketenagakerjaan dengan menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan ayang intinya mengatur fleksibilitas jam kerja dengan prinsip no work no pay. “Kalau order turun 30-50 persen dalam waktu 2 bulan kami masih sanggup. Tapi kalau sudah tahunan itu ancamannya akan terjadi PHK massal,” ujarnya.

Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Anne Patricia Sutanto, mencermati dampak resesi setidaknya menyasar beberapa hal seperti ekspor, daya beli, dan daya saing. Kebijakan yang diterbitkan pemerintah selama ini dirasa sudah cukup untuk mengatur sektor industri tekstil. Tapi yang dibutuhkan saat ini adalah penegakan terhadap kebijakan tersebut.

Ane mendesak pemerintah untuk menindak tegas impor baju bekas ilegal. “Ketentuannya sudah ada, sekarang yang dibutuhkan adalah penegakan hukumnya,” ujarnya.

Begitu juga soal dumping, Ane melihat banyak negara produsen tekstil yang pesanannya dibatalkan pembeli melihat potensi pasar di Indonesia. Jika barang dari negara produsen itu masuk ke Indonesia maka akan merugikan industri domestik terutama UMKM. Selama ini UMKM memasok kebutuhan tekstil dan produk tekstil dalam negeri.

Tags:

Berita Terkait