Cerita Najwa Shihab tentang Fakultas Hukum, Jurnalistik, dan Kepemimpinan
Berita

Cerita Najwa Shihab tentang Fakultas Hukum, Jurnalistik, dan Kepemimpinan

Pilihan kampus dan akademik tidak membatasi pilihan karier. Lulusan Fakultas Hukum punya tanggung jawab publik untuk mengatakan mana yang benar dan salah, etika dan norma.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Najwa Shihab dalam acara Festival of Alumni Leadership Camp Week I yang dipandu oleh Ketua Umum ILUNI FHUI Ashoya Ratam, Sabtu (20/3).
Najwa Shihab dalam acara Festival of Alumni Leadership Camp Week I yang dipandu oleh Ketua Umum ILUNI FHUI Ashoya Ratam, Sabtu (20/3).

Lulusan Fakultas Hukum (FH) punya banyak opsi pekerjaan yang ingin dijalani. Advokat adalah profesi yang sudah lazim dijalani. Sebagian memilih profesi hukum lain seperti jaksa dan hakim. Profesi ini masih linier dengan keilmuan yang diperoleh selama di bangku kuliah. Ada juga yang memilih profesi lain, yang dalam pandangan awam jauh dari latar belakang keilmuan hukum.

Najwa Shihab salah seorang yang memilih mengabdi di luar kelaziman. Jebolan Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini lebih dikenal sebagai jurnalis televisi nasional. Sudah hampir 20 tahun, Nana –begitu ia biasa disapa—menikmati profesi jurnalis. Kini, selain dikenal luas pembawa acara di televisi, Nana menjadi seorang entrepreneur. Ia dikenal sebagai pembawa acara dengan pertanyaan-pertanyaan tangkas dan kritis kepada narasumber. Pertanyaan-pertanyaan kritisnya mungkin bisa membuat narasumber gagap untuk menjawab jujur, tetapi di situlah antara lain seni wawancara yang menarik minat penonton televisi.

Pengalamannya sebagai jurnalis telah menarik sejumlah kampus untuk mengundangnya menjadi narasumber. Kiprah dan pengalamannya selama ini menjadi cerita yang menarik untuk dibagikan kepada khalayak. Banyak orang bertanya-tanya: mengapa Nana tidak memilih profesi pengacara seperti yang dilakoni sejumlah pesohor saat ini?

Menurut Najwa Shihab, pilihan karier sebenarnya tidak dibatasi oleh pilihan fakultas. Presenter televisi tidak harus lulusan Fakultas Komunikasi, karena lulusan FH pun dapat menjalaninya. Hal paling penting tidak hanya mengejar prestasi akademik sehingga mendapatkan nilai tertinggi, tetapi juga meningkatkan jejaring. Tidak kalah penting adalah keterampilan yang biasanya diperoleh lewat aktivitas organisasi. Jika menjalani semua prasyarat itu secara serius dan total, seseorang akan mendapatkan manfaat ketika sudah memilih profesi yang akan dijalani.

Selama menjalani pendidikan di FH UI, Najwa tak hanya menimba ilmu teoritis, tetapi juga ilmu praktis dan pengalaman membangun jejaring. Dalam lingkungan akademik itu dia juga belajar untuk memilah argumen, memformulasi ide dan mengartikulasinya secara tepat, mengidentifikasi masalah dan mengatasinya. “Keterampilan yang dipelajari dari ilmu hukum itu dapat membantu kita untuk menjalankan profesi di bidang apapun,” katanya dalam diskusi daring bertema ‘Festival of Alumni Leadership Camp Week I’, Sabtu (20/3) kemarin.

Baca:

Ilmu hukum juga menjadi pegangan Nana menjalankan profesinya selama ini termasuk ketika menjadi jurnalis. Dalam acara talkshow yang dipandunya di stasiun TV nasional, Najwa kerap melakukan wawancara terhadap berbagai macam pihak mulai dari tokoh publik, pejabat negara, politisi, dan individu yang punya pengalaman inspiratif. Dengan ilmu hukum yang dipelajarinya dia mengetahui bagaimana mengupas informasi narasumbernya terutama dari kalangan politisi. Bahkan ilmu hukum yang diperolehnya itu terus dipupuk dan diterapkan saat ini di mana sekarang Najwa menjadi enterpreneur. “Yang penting kita total menjalani dan memupuknya sejak bangku kuliah,” ujarnya.

Dalam diskusi daring itu, Nana juga bicara tentang kepemimpinan. Ia berpendapat kepemimpinan (leadership) lebih merupakan suatu keterampilan. Keterampilan bisa diperoleh jika dipelajari dan terus dilatih. Intinya leadership itu proaktif dan berinisiatif dalam mengambil keputusan, mempunyai kemampuan membangkitkan semangat, menggali opini, dan menyatukan yang berserakan. Pemimpin yang dibutuhkan saat ini harus mampu menggerakkan orang lain untuk mencapai tujuan yang sama, bukan mendikte atau hanya memerintah. “Leadership itu skill, kompetensi yang bisa dilatih setiap hari,” urainya.

Menurut puteri Quraish Shihab, Menteri Agama era Presiden Soeharto ini, untuk melakukan sesuatu yang memberikan dampak dan pengaruh besar tidak dibutuhkan jabatan dan titel tertentu, tetapi yang penting dilakukan secara bersama. Dia memberi contoh kasus salah tangkap pengamen Cipulir yang dituduh melakukan pembunuhan. Akibatnya pengamen yang berusia muda itu putus sekolah. Tuntutan ganti rugi yang diajukan para pengamen ditolak pengadilan. Dalam kasus ini, Najwa dan LBH Jakarta menggalang dana publik. Alhasil dalam 24 jam terkumpul ratusan juta sumbangan dari berbagai kalangan. Dana yang terkumpul digunakan untuk pengamen Cipulir korban salah tangkap itu melanjutkan pendidikan. “Dengan bersama-sama melakukan sesuatu, ini yang lebih powerfull daripada pejabat yang punya kewenangan dan uang tapi tidak mau melakukan apa-apa,” tegasnya.

Tak kalah penting Najwa mengingatkan kepada seluruh mahasiswa bahwa pilihan kampus dan akademik tidak membatasi mereka untuk memilih karier. Khusus untuk mahasiswa dan lulusan fakultas hukum dia mengingatkan ada tanggungjawab yang harus dilaksanakan yakni mengatakan mana yang benar dan salah, etika dan norma. Tanggung jawab itu menurut Najwa melekat pada setiap individu yang pernah mengenyam pendidikan hukum. “Mari jadikan gelar sarjana hukum yang kita miliki sebagai alarm untuk mengingat terus-menerus ketika berada di persimpangan jalan, kita harus bersikap tegak pada kewarasan dan nalar sehat,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait