Cerita Para Penyusun Kamus Hukum Indonesia
Potret Kamus Hukum Indonesia

Cerita Para Penyusun Kamus Hukum Indonesia

Sejumlah penyusun kamus hukum bercerita pengalaman mereka menyusun kamus. Akur tentang pentingnya kamus hukum daring, sesuai perkembangan.

Oleh:
Muhammad Yasin/Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

 

Meskipun begitu, tak semua kata yang disusun sudah dikenal luas di Indonesia. Istilah factoring dan trust misalnya. Kedua istilah ini dimasukkan karena dikenal dalam hukum bisnis di negara-negara berbahasa Inggris. Kalau ada saat itu orang yang bertanya mengapa factoring atau trust diterjemahkan seperti dalam kamus, Elly mengaku tak bisa menjelaskan. “Tetapi saya bisa menjelaskan istilah itu saya ambil darimana,” ujarnya.

 

Setidaknya ada empat acuan yang dipakai. Pertama, rumusan otentik atau asli berikut pengertiannya dalam peraturan perundang-undangan. Misalnya, istilah ‘bank’ dan ‘efek’. Kedua, penafsiran otentik, yaitu dengan meneliti isi penjelasan Undang-Undang apabila ditemukan keraguan mengenai arti atau definisi istilah. Ketiga, uraian dalam berbagaoi ensiklopedia hukum dan kamus hukum standar, baik yang ditulis dalam bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia. Keempat, uraian dalam berbagai buku teks hukum yang relevan.

 

Prof. Yus Badudu bertugas mengecek keselarasannya dengan bahasa Indonesia. Ahli bahasa itu bertanya kepada Elly tentang kata tertentu untuk kemudian dicarikan terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Salah satunya menerjemahkan factoring ke dalam anjak piutang. Pengerjaan kamus hukum ekonomi itu, diakui Elly, dilakukan melalui metode yang dikembangkan sendiri, pilihan istilah-istilahnya pun menggunakan nalar mana yang penting. Setelah diselaraskan Prof. Yus Badudu, ELIPS menerbitkannya menjadi sebuah buku. Penyusunan kamus ini tanpa perjanjian copyright. Begitu selesai, Elly langsung menyerahkan kepada ELIPS. Belakangan ia mendapat informasi sudah ada masuk nama penulis lain ke dalam kamus hukum ekonomi itu.

 

Martin Basiang, seorang jaksa yang berhasil menyusun kamus hukum, bercerita bahwa penyusunan sudah dimulai ketika ia ditugaskan ke Belanda. Kesempatan belajar di Belanda dimanfaatkan untuk memahami kata-kata yang dipakai dalam proses peradilan, dan ditopang referensi yang memadai di perpustakaan. “Saya kumpulkan bahannya sampai tahun 1980-an,” jelasnya kepada hukumonline.

 

Dalam perjalanan karirnya sebagai jaksa, Martin terus mengumpulkan istilah yang sehari-hari dipakai, terutama yang muncul di media massa. Itu sebabnya, Martin menggunakan kata contemporary sebagai judul kamus yang dia susun. Tetapi kamus hukum kontemporer itu baru benar-benar rampung setelah Martin pensiun dari jaksa. “Saya menggarap betul setelah saya pensiun”. Martin Basiang menceritakan proses penulisan kamus itu dalam wawancara dengan hukumonline di rumahnya. Ia bersyukur akhirnya kamus itu berhasil disusun dan diluncurkan pada hari korps adhyaksa.

 

Baca juga:

 

Urgensi Kamus Daring

Dalam konteks penyusunan kamus hukum di Indonesia, para penyusun bersepakat pentingnya mengikuti perkembangan teknologi. Elly, Rocky Marbun, dan Yudha Pandu melihat perkembangan itu sebagai peluang yang harus dimanfaatkan oleh siapapun, terutama oleh pemerintah.

Tags:

Berita Terkait