Cerita Penghapusan Pasal Pengaduan Konstitusional dalam RUU MK
Berita

Cerita Penghapusan Pasal Pengaduan Konstitusional dalam RUU MK

Karena dianggap beraroma kepentingan. Diperlukan kajian pendalaman dan diharapkan dapat dibahas secara khusus antara DPR dan pemerintah.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

Sementara Anggota Panja RUU MK Taufik Basari menambahkan, idealnya memang pasal tersebut tetap bertengger di UU MK terbaru. Namun, kesepakatan dalam pembahasan antara pemerintah dan mayoritas fraksi berkata lain. Menurutnya, urusan penormaan dalam UU menjadi open legal policy. Penormaan ini membutuhkan diskusi panjang. Dia berharap nantinya bakal ada diskusi khusus dan waktu yang cukup soal aturan konstitusional komplain.

Terpisah, pakar hukum tata negara dan hak asasi manusia, Leopold Sudaryono berpendapat DPR semestinya mendorong terbentukanya aturan konstitusional komplain. Namun, dia berharap nantinya DPR dan pemerintah dapat bersepakat untuk membahas aturan tersebut secara khusus. “Karena pengaduan konstitusional ini akan memberikan akses keadilan yang lebih luas bagi masyarakat,” katanya.

Ada kepentingan

Dalam kesempatan ini, Benny K Harman menyesalkan cepatnya pembahasan RUU MK dan kemudian disahkan menjadi UU. Bahkan, dia menilai pengesahan RUU MK ini jauh lebih cepat ketimbang pembahasan revisi UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK.

“RUU MK ini nampaknya undang-undang halilintar seperti petir di siang hari bolong, mengagetkan, dan saya ibaratkan juga seperti Covid-19, datang tiba-tiba, diam-diam tetapi mematikan,” kata Benny.

Dia mengakui Revisi UU MK akibat adanya sejumlah putusan MK atas pengujian UU MK. Materi muatannya hanya seputar pasal-pasal yang dibatalkan MK. Namun, pembahasan RUU MK dipastikan berkaitan dengan kepentingan kekuasaan. Apalagi berbicara dengan aturan batasan maksimum pensiun hakim konstitusi berusia 70 tahun, dipastikan pada 2024 bakal berlanjut 9 orang hakim konstitusi yang bertugas saat ini.

“Maka pertanyaannya, kalau UU MK ini cepat-cepat dibikin dan disahkan, maka pasti ada kepentingan, nggak usah dibantah itu, pasti ada kepentingan. Maka pertanyaan lanjutannya, siapa yang berkepentingan kan gitu,” tudingnya.

Leopold Sudaryono melanjutkan semestinya sejak awal pembahasan RUU MK dilakukan terbuka. Pembahasan tertutup dan menutup ruang masyarakat memberikan masukan menimbulkan kecurigaan. Karena itu, wajar ketika adanya tudingan miring terhadap pembahasan RUU MK hingga disahkan menjadi UU.

“Yang kita harapkan adalah pembahasan UU yang terbuka dan konsultatif, pendidikan politik masyarakat, mendorong masyarakat terlibat dan itu tadi mencegah pencurigaan-kecurigaan orang,” katanya.

Taufik Basari buru-buru menampik tudingan tersebut. Menurutnya, revisi UU MK merupakan akibat adannya putusan MK. Malahan telah direncanakan pembahasannya sejak DPR periode 2014-2019. Wakil Ketua Komisi III Erma Suryani Ranik bersama tim sudah mulai menyerap masukan dari sejumlah kalangan akademisi.

“Kami menyesalkan adanya tuduhan barter dengan RUU ini dan kepentingan politik. Justru tuduhan itu merendahkan martabat sembilan hakim konstitusi itu sendiri,” kata politisi Partai Nasional Demokrat itu.

Tags:

Berita Terkait