Curhatan Terpidana Mati Merry Utami Memohon Grasi
Kolom

Curhatan Terpidana Mati Merry Utami Memohon Grasi

“Selalu ada harapan untuk orang yang berusaha. Dalam penantian, hanya Tuhan yang mengerti jerit hati saya, tangis rindu, tangis penyesalan,” kata Merry melalui surat yang Hukumonline terima.

Bacaan 5 Menit
Merry Utami. Foto: Youtube LBH Masyarakat.
Merry Utami. Foto: Youtube LBH Masyarakat.

Merry Utami, terpidana mati karena kedapatan membawa 1,1 kilogram heroin dalam tasnya, memohon grasi kepada Presiden Joko Widodo. Merry mengisahkan bagaimana dirinya terjebak dalam ‘kubangan’ perkara yang melilitnya hingga divonis hukuman mati. Ia mengaku menyesal atas ketidaktahuan dirinya yang dijebak sehingga membawa barang haram itu.

Merry mencurahkan isi hatinya kepada Hukumonline setelah 21 tahun penantian. Ia berharap memperoleh grasi dari Presiden Jokowi sehingga bisa bebas. Berikut curahan hati Merry Utami yang diterima Hukumonline melalui LBH Masyarakat sebagai konten khusus kolom opini kali ini:

Saya menjadi pekerja migran karena desakan ekonomi. Jujur, hutang suami saat itu banyak hampir setiap hari pegawai bank swasta selalu datang untuk nagih, sementara suami jarang dirumah. Untuk hidup hari-hari saja sulit. Tiap pulang hampir sering dalam keadaan mabuk. Sampai suatu saat suami minta saya untuk kerja di luar negeri untuk bayar hutang-hutangnya. Dengan berat hati, karena lihat anak-anak. Tapi, disisi lain setiap hari saya stres dalam ketakutan kalau dengar suara sepeda motor pegawai bank swasta untuk nagih dengan berbagai ancaman dan bentak-bentak. Membuat saya stres.

Keluar dari satu masalah saya pikir saya jadi orang yang beruntung setelah menderita dengan segala penderitaan-penderitaan. Tetapi, ternyata karena nafsu bodoh saya jatuh ke jurang kelam dimanfaatkan oleh orang-orang yang melihat kesempatan bodoh saya. Dengan penuh penyesalan atas bodohnya saya ini,rasanya sungguh mengenaskan.

Baca juga:

Namanya buruh migran yang banyak latar belakang, dan yang mendasari latar belakang itu adalah keluar dari kesulitan hidup (perekonomian). Karena buruh migran sebenarnya orang yang harus menekan banyak keinginan. Harus korban perasaan. Kalau rindu dengan keluarga terutama rindu anak cuma bisa telpon itupun tidak bisa tiap saat. Dulu lihat majikan kalau dapat yang baik kita bisa agak leluasa tapi kalau dapat yang streng ya ngumpet-ngumpet.

Sudah curi-curi waktu pun harus berhitung untuk telepon ke luar negeri itu mahal. Waktu saya kerja dulu jadi cuma bisa tahan diri dan hati. Apalagi ada juga majikan yang curang zaman itu, kita gak jelas gajinya sudah dipotong perjanjian 11 bulan tapi ada biaya-biaya yang lain katanya. Sisa gaji kita bilangnya disimpan di bank sebagian kita kirim ke rumah dan sedikit kita ambil buat beli keperluan wanita. Dan saat pulang majikan bilang ditransfer ke rumah padahal jumlahnya tidak sesuai dengan yang kita perkirakan, dengan banyak alasan mereka.Makanya kalau ada yang bisa menghidupi kita dan kasih uang sama kita ya kita gampang tergiur. Karena kita pikir nanti uangnya yang kita dapat dan bisa kita buat membahagiakan anak kita juga. (itu pemikiran bodohnya kita yang ternyata dimanfaati orang jahat)

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait