Curhatan Terpidana Mati Merry Utami Memohon Grasi
Kolom

Curhatan Terpidana Mati Merry Utami Memohon Grasi

“Selalu ada harapan untuk orang yang berusaha. Dalam penantian, hanya Tuhan yang mengerti jerit hati saya, tangis rindu, tangis penyesalan,” kata Merry melalui surat yang Hukumonline terima.

Bacaan 5 Menit

Banyak proses dan kesulitan yang saya alami selama saya dihukum terutama dari pemberitaan yang kadang kita berharap bisa menyampaikan раdа masyarakat. Aра sebenarnya yang terjadi tapi pemberitaannya malah membuat saya terpojok. Saya menjadi seolah bandar besar yang memiliki barang haram itu yang pantas dihukum berat. Bahkan karena trauma banyak saya menolak kalau mau diwawancarai. Karena waktu wawancara hal-hal yang baik hampir tidak diberitakan padahal ada wawancaranya yang ditayangkan hanya tentang kasus. Sementara perubahan dan pembinaan kegiatan yang didapat selama saya dalam pembinaan seperti tidak ada penilaiannya. Bahkan kadang saya bertanya ара didunia ini tidak ada orang yang berwenang yang bisa menerima kata “Maaf" jika orang yang bersalah sudah berubah. Sementara ada orang yang keluar masuk dengan kasus yang sama. Lantas bagaimana kabar saya yang terus memperbaiki diri tapi tidak ada perubahan hukum. Meski begitu saya hanya ingat nasehat nenek saya: terus berbuat baik mesti tidak dianggap karena yang nilai "Gusti Allah". Sempat putus asa dulu waktu awal-awal masuk Lapas tahun 2001-2003 tidak punya apa-apa. Pernah untuk mandi saja sampai minta sama teman. Rinso saya rendam air empat hari baru saya pakai yang penting berbusa di badan saya. Dan untuk pembalut minta pakaian bekas teman-teman.

Sebagai orang yang “buta hukum” dan tidak punya apa-apa ya.. mau bagaimana lagi? Nangis sampai berubah jadi darah pun apa yang bisa saya buat. Cuma mengharap ada mukjizat Tuhan yang menyentuh hati orang-orang yang berwenang dalam putusan proses hukum saya. Menanti Tuhan kirim orang baik yang mau memperjuangkan proses hukum saya. Saya percaya pasti ada jalan keluar yang akan menjadi jawaban doa saya selama 21 tahun ini dan Tuhan mengirim orang-orang baik banyak. Ada LBH, Komnas perempuan, KWI dan lain-lain. Meskipun masih menanti jawaban itu, saya yakin dengan mengandalkan Sang Pencipta pasti ada pertolongan.

Saya bertahan sampai 21 tahun ini saya juga gak sangka. Kalau bukan Tuhan yang memberi kekuatan tidak mungkin saya bisa lewati hari-hari saya. Dan didorong keinginan membahagiakan anak saya memberikan kebahagiaan saat saya bebas nanti buat anak saya. Tidak hanya bertahan tapi menekan semua keinginan yang harus menerima kenyataan dalam ketidakmampuan. Belajar bersyukur tidak semudah kita bicara. Contoh dulu awal-awal saya masuk penjara saya pernah pengen makan bakso tapi karena tidak punya uang saya lari ke dapur Lapas minta bawang putih sedikit garam, micin sedikit kasih air panas, sebelum akan saya doa dan saya imani saya sedang makan bakso. Waktu orang-orang terdekat dipanggil Tuhan misal anak laki-laki saya, ibu saya, nenek, dan lain-lain. Saya tidak bisa melihat hanya berdoa. Menekan segala emosi, marah dan cuma bisa nangis sama Tuhan. Saat rindu sama anak dan keluarga cuma bisa berdoa meski dada terasa sesak karena penyesalan dan kemarahan pada diri sendiri.

Dampak penahanan dan pidana mati buat saya, ya mau gimana lagi? Cuma menanti belas kasihan orang-orang yang berwenang yang ditunjuk Tuhan untuk berlaku adil dalam menilai orang seperti saya. Untuk keluarga banyak yang malu dan tidak mau kenal saya. Tapi Tuhan banyak juga kirim orang-orang yang tidak saya kenal. Sebelumnya dipertemukan Tuhan baik dari teman-teman sesama WBP atau para pelayan Rohani yang melayani di Lapas menganggap saya manusia yang butuh saudara. Meski saudara saya yang dekat malah anggap saya sudah tidak ada (menyedihkan).

Harapan saya sebagai manusia yang sudah dipenjarakan selama 21 tahun menanti kepastian untuk bebas, sering kecewa kalau dengar ada perubahan-perubahan peraturan Undang-undang Narkoba atau untuk pengurusan PB atau apapun harus sesuai peraturan. Menunaikan kewajiban sebagai WBP yang “baik” sementara bagaimana dengan kita yang terus berharap apa yang kita perbuat lakukan sebagai WBP siapa yang menilai dan siapa yang mempertimbangkan perubahan saya/kami? Untuk di Lapas kita memang dapat penilaian tapi kelanjutan perubahan tetap kembali pada para yang berwenang menurunkan hukuman kita. Banyak kekecewaan yang saya telan tapi kembali lagi kata bijak selalu datang disaat saya putus asa.

Selalu ada harapan untuk orang yang berusaha. Dalam penantian hanya Tuhan yang mengerti jerit hati saya, tangis rindu, tangis penyesalan. Dalam doa agar para petinggi negara yang berwenang boleh melihat usaha perubahan, saya menjadi yang lebih baik dan harapan saya untuk bisa berkumpul dan menebus segala kesalahan saya terutama kepada anak saya dan orang tua saya (Bapak) yang sudah 21 tahun saya tinggal. Untuk anak saya. Saat saya tinggal pasti banyak penderitaan yang dia terima dari masyarakat bahkan keluarga besar juga.

Kepada Bapak Presiden Indonesia "Bapak Jokowi” mohon belas kasih dan kebijaksanaannya. Saya yang sudah berbuat salah dulu mohon pengampunan. Saya percaya Bapak Presiden bisa menerima permohonan saya narapidana yang sudah menanti kebebasan selama 21tahun. Saya dengan penuh penyesalan dan belajar terus memperbaiki diri selama dalam pembinaan di dalam lapas. Bapak Presiden yang terhormat, saya percaya Kalau Bapak Presiden sebagai ‘Wakil Tuhan di dunia yang mempunyai hati nurani buat orang seperti saya yang pernah berbuat salah dan mengampuni permohonan maaf saya. Sebelum dan sesudahnya saya mengucapkan banyak terima kasih..

*)Merry Utami adalah seorang terpidana mati kasus narkoba. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan LBH Masyarakat.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait