Daftar 200 Muballigh Tak Wajib, Masyarakat Bebas Pilih Pendakwah
Berita

Daftar 200 Muballigh Tak Wajib, Masyarakat Bebas Pilih Pendakwah

Termasuk masjid-masjid yang berada di lingkungan pemerintah.

Oleh:
M-27
Bacaan 2 Menit
Kementerian Agama. Foto: Sgp
Kementerian Agama. Foto: Sgp

Beberapa waktu lalu pemerintah melalui Kementerian Agama menerbitkan daftar 200 nama muballigh yang dinilai memiliki kompetensi keilmuan agama yang mumpuni, reputasi yang baik, serta berkomitmen kebangsaan yang tinggi. Tentu saja, daftar ini bukanlah sebuah kewajiban yang harus dilakukan pengurus masjid dalam memilih pendakwah.

 

Pakar hukum tata negara, Irmanputra Sidin mengatakan, pemerintah tidak didesain untuk menilai ilmu warga negara siapa yang paling mumpuni dalam suatu bidang ilmu ketatanegaraan apalagi ilmu agama. “Oleh karenanya, alasan yang paling bijaksana adalah negara butuh pertolongan sosialisasi nilai kebangsaan yang dibutuhkan melalui tausiyah-tausiyah getar jiwa dari para muballigh kita,” katanya.

 

Irman mengatakan, daftar tersebut tidak memiliki akibat hukum sama sekali. Daftar tersebut merupakan rujukan pemerintah kepada masyarakat dalam memilih pendakwah, bukan sebuah keputusan. Untuk itu, rujukan ini tak mengharuskan masyarakat atau pengurus masjid untuk menggunakan daftar tersebut atau tidak, termasuk masjid yang berada di lingkungan pemerintah.

 

“Itu hanyalah daftar sebagai rujukan, bukan surat keputusan. Terlebih mengenai keterikatan terutama di masjid-masjid pemerintah, itu sama sekali tidak ada. Sekali lagi itu hanya rujukan yang disodorkan oleh Kementerian Agama, masyarakat bebas mau menggunakan daftar tersebut atau tidak, itu tidak masalah,” kata Irman.

 

Ia menjelaskan, antara negara dan agama memang tidak bisa dipisahkan. Negara membutuhkan agama begitu pula agama membutuhkan negara. Di sisi lain, agama juga butuh negara untuk sebuah proses pelembagaan kembali oleh negara, begitu pula sebaliknya negara butuh ukuran-ukuran peradaban masyarakat untuk kemudian dilembagakannya dalam bentuk undang-undang yang salah satu sumbernya adalah nilai agama (Pasal 28J ayat (2) UUD 1945).

 

Bagi Irman, mekanisme ketatanegaraan sebenarnya sudah ada, namun bukan rekomendasi 200 muballigh melainkan Pemerintah berhubungan dengan Majelis Ulama Indonesia(MUI). Selama ini, MUI hadir sebagai penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional.

 

Termasuk di dalamnya nilai kebangsaan yang dikehendaki pemerintah. Atas dasar itu, biarkanlah MUI yang mengkomunikasikan hal tersebut kepada para ulama, umaro dan masyarakat serta bagaimana cara terbaik pelaksanaannya. Sehingga mencapai kesimpulan muballigh tersebut dapat dikatakan berilmu paling tinggi sehingga masuk dalam rujukan.

Tags:

Berita Terkait