Dalih Wewenang Pembentuk UU, MK Tolak Perluasan Pasal Kesusilaan
Berita

Dalih Wewenang Pembentuk UU, MK Tolak Perluasan Pasal Kesusilaan

Empat hakim konstitusi mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion) yang menyimpulkan seharusnya MK mengabulkan permohonan para pemohon. Sebab, upaya rekriminalisasi melalui putusan pengadilan sejatinya juga bukanlah hal yang tabu atau bahkan diharamkan bagi hakim (konstitusi).

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit

 

“Lagi pula, menghilangkan frasa tertentu dan/atau menambahkan pemaknaan baru terhadap suatu norma hukum pidana berarti mengubah pula sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) perbuatan itu tanpa melakukan perubahan atau penyesuaian dalam ancaman pidana (strafmaat) dan bentuk pengenaan pidana (strafmodus) tidaklah dapat diterima oleh penalaran hukum dalam merancang suatu norma hukum pidana karena hal itu melekat pada jenis atau kualifikasi perbuatan yang dapat dipidana atau tindak pidana (strafbaarfeit) yang bersangkutan,” papar Saldi.

 

Baca Juga: Pemerintah Tanggapi Uji Aturan Perzinaan dan Pemerkosaan

 

Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menegaskan benar bahwa putusan MK memiliki kedudukan setara dengan UU, sehingga daya ikatnya pun setara dengan UU. Namun kesetaraan itu, lanjut Maria, dalam konteks pemahaman kedudukan Mahkamah sebagai negative legislator, bukan sebagai pembentuk UU (positive legislator).

 

Dia menjelaskan benar pula bahwa Mahkamah melalui putusannya telah berkali-kali menyatakan suatu norma UU konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) atau inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Hal ini berarti mempersyaratkan pemaknaan tertentu terhadap suatu norma UU untuk dapat dikatakan konstitusional. Artinya, jika persyaratan itu tidak terpenuhi, norma UU dimaksud inkonstitusional.

 

Pengujian UU ini pada pokoknya berisi permohonan kriminalisasi maupun dekriminalisasi terhadap perbuatan tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh Mahkamah. Sebab, hal itu merupakan salah satu bentuk pembatasan hak dan kebebasan seseorang dimana pembatasan demikian sesuai Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 adalah kewenangan eksklusif pembentuk UU. Hal ini penting ditegaskan sebab sepanjang berkenaan kebijakan politik hukum pidana, hal itu sepenuhnya wilayah kewenangan pembentuk UU.

 

“Meskipun secara konstitusional memiliki kewenangan menetapkan kebijakan kriminalisasi, pembentuk UU pun harus sangat berhati-hati. Pembentuk UU harus benar-benar memperhatikan bukan hanya perkembangan hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia, tetapi juga perkembangan dunia,” jelasnya.

 

Bukan menolak gagasan pemohon 

Terkait dalil para pemohon bahwa fenomena sosial dalam masyarakat berupa perilaku menyimpang akan terselesaikan secara efektif jika dinyatakan sebagai tindak pidana dan menghukum pelakunya, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menegaskan hukum hanyalah salah satu kaidah sosial atau kaidah kemasyarakatan yang bertujuan menciptakan sekaligus memelihara tertib sosial dalam kehidupan masyarakat.

 

Sebab, terdapat banyak kaidah sosial lain yang juga bertujuan menciptakan dan memelihara tertib sosial yakni kaidah kesusilaan, kesopanan, dan agama. Pandangan para sosiolog yang telah diterima secara umum menyatakan ketertiban sosial akan tercipta manakala segenap kaidah kemasyarakatan itu bekerja atau berfungsi dengan baik. Dimulai dari kaidah kesusilaan, kaidah kesopanan, kaidah agama, dan terakhir barulah kaidah hukum.

Tags:

Berita Terkait