Dalih Wewenang Pembentuk UU, MK Tolak Perluasan Pasal Kesusilaan
Berita

Dalih Wewenang Pembentuk UU, MK Tolak Perluasan Pasal Kesusilaan

Empat hakim konstitusi mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion) yang menyimpulkan seharusnya MK mengabulkan permohonan para pemohon. Sebab, upaya rekriminalisasi melalui putusan pengadilan sejatinya juga bukanlah hal yang tabu atau bahkan diharamkan bagi hakim (konstitusi).

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit

 

Palguna melanjutkan tugas hukum akan menjadi jauh lebih ringan manakala kaidah kesusilaan, kesopanan, dan agama itu ditaati oleh masyarakat yang lahir dari kesadaran bahwa kaidah-kaidah itu dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga menimbulkan rasa wajib moral untuk mentaatinya. Khusus kaitannya dengan kaidah hukum, sambungnya, kaidah yang ada dalam lapangan hukum pidana menempati urutan terakhir. Artinya, hukum pidana baru akan digunakan apabila kaidah kesusilaan, kaidah kesopanan, kaidah agama, dan kaidah hukum dalam bidang lain telah tidak memadai lagi. Karena itu, hukum pidana dikatakan sebagai “obat terakhir” (ultimum remedium).

 

Dengan demikian, membebankan seluruh tanggung jawab menata fenomena sosial berupa perilaku yang dianggap menyimpang (deviant behavior) semata-mata pada kaidah hukum, lebih-lebih hanya pada kaidah hukum pidana, tidaklah proporsional. Bahkan, cenderung terlalu menyederhanakan persoalan.

 

“Pertimbangan ini bukan hendak menafikan peran hukum, termasuk hukum pidana, semata-mata menegaskan tertib sosial itu tidak hanya tercipta karena paksaan kaidah hukum (kriminalisasi), tetapi harus didasari adanya rasa wajib moral untuk taat pada seluruh kaidah kemasyarakatan yang ada dengan kesadaran bahwa kaidah-kaidah sosial itu dibutuhkan dalam kehidupan bersama."

 

Dalam konteks itu, pendidikan memegang peranan penting, sehingga dibutuhkan kesatuan pandangan perihal tata nilai yang harus dikembangkan dalam ketiga lingkungan pendidikan yang ada, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat.

 

Meski begitu, Palguna menegaskan seluruh pertimbangan hukum tersebut bukan berarti menolak gagasan “pembaruan” para pemohon sebagaimana tercermin dalam dalil-dalil permohonannya. Bukan pula berarti Mahkamah berpendapat norma hukum pidana yang ada dalam KUHP, khususnya yang dimohonkan sudah lengkap. Mahkamah, tegasnya, menyatakan norma pasal-pasal dalam KUHP yang dimohonkan pengujian tidak bertentangan dengan UUD 1945.

 

“Perihal perlu atau tidaknya dilengkapi, hal itu sepenuhnya kewenangan pembentuk UU melalui kebijakan politik hukum pidana (criminal policy). Karena itu, gagasan pembaruan yang ditawarkan para pemohon seharusnya diajukan kepada pembentuk UU. Hal tersebut seharusnya menjadi masukan penting bagi pembentuk UU dalam proses penyelesaian perumusan KUHP yang baru,” sarannya.

 

Dissenting opinion

Dalam putusan tersebut, terdapat empat hakim konstitusi mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion) yakni Ketua MK Arief Hidayat, Wakil Ketua MK Anwar Usman, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Aswanto. Keempatnya berpandangan konteks Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menegaskan jati diri dan identitasnya sebagai konstitusi yang berketuhanan (godly constitution) terlihat jelas bahwa nilai agama dan ketertiban umum diberi posisi dan fungsi sebagai salah satu pedoman yang harus dipatuhi dalam membentuk norma UU.  

Tags:

Berita Terkait