Dalih Wewenang Pembentuk UU, MK Tolak Perluasan Pasal Kesusilaan
Berita

Dalih Wewenang Pembentuk UU, MK Tolak Perluasan Pasal Kesusilaan

Empat hakim konstitusi mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion) yang menyimpulkan seharusnya MK mengabulkan permohonan para pemohon. Sebab, upaya rekriminalisasi melalui putusan pengadilan sejatinya juga bukanlah hal yang tabu atau bahkan diharamkan bagi hakim (konstitusi).

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Buku KUHP R Soesilo. Foto: SGP
Buku KUHP R Soesilo. Foto: SGP

Setelah ditunggu hampir setahun, akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian pasal perzinaan, pemerkosaan dan pencabulan sesama jenis (kesusilaan) dalam KUHP. Dalam putusan bernomor 46/PUU-XIV/2016 yang dibacakan secara bergantian oleh majelis MK di ruang sidang MK Jakarta, Kamis (14/12), intinya MK beralasan pengujian permohonan Guru Besar IPB Euis Sunarti dkk ini masuk wilayah kewenangan pembentuk undang-undang (UU).

 

Sejak Juni tahun lalu, 12 pemohon yang dimotori Euis Sunarti mempersoalkan Pasal 284 KUHP (perzinaan), Pasal 285 KUHP (pemerkosaan), dan Pasal 292 KUHP (pencabulan sesama jenis). Euis Sunarti dkk meminta MK memperluas makna larangan perzinaan, pemerkosaan, dan homoseksual (hubungan sesama jenis) agar sesuai jiwa Pancasila, konsep HAM, nilai agama yang terkandung dalam UUD 1945. Misalnya, memperluas makna perzinaan yang tak hanya terbatas salah satu pasangan atau keduanya terikat perkawinan (27 BW), tetapi termasuk hubungan badan bagi pasangan yang tidak terikat pernikahan (free sex).  Sebab, penafsiran secara a contrario Pasal 284 KUHP bermakna persetubuhan suka sama suka di luar perkawinan bukan tindak pidana (praktik prostitusi).

 

Berlakunya frasa “perempuan yang bukan istrinya” dalam Pasal 285 KUHP pun seharusnya dimaknai menjadi “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa…”. Artinya, korban perkosaan tak hanya wanita, tetapi faktanya bisa terjadi terhadap laki-laki termasuk perkosaan terhadap sesama jenis seharusnya bisa dipidana.

 

Selain itu, frasa “yang belum dewasa” dan frasa “sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya hal belum dewasa” dalam Pasal 292 KUHP menunjukan negara hanya memberi kepastian perlindungan hukum terhadap korban yang diketahuinya yang diduga belum dewasa atau tidak memberi perlindungan terhadap korban yang telah dewasa. Artinya, setiap jenis perbuatan cabul “sesama jenis” baik dewasa ataupun belum dewasa seharusnya dapat dipidana (lesbian, gay, biseksual, dan transgender atau LGBT).  

 

(Baca juga: Begini Riwayat Pasal Homoseksual yang Kini Diributkan).

 

Dalam putusannya, Mahkamah menyebut maksud permohonan para pemohon meminta diperluas cakupan atau ruang lingkup, bahkan mengubah, jenis-jenis perbuatan yang dapat dipidana dalam pasal-pasal yang diuji. Kata lain, Mahkamah diminta melakukan kebijakan pidana atau politik hukum pidana (criminal policy) dalam arti merumuskan perbuatan yang sebelumnya bukan perbuatan pidana menjadi perbuatan pidana (delict).  

 

“Seperti zina (Pasal 284 KUHP) akan menjadi mencakup seluruh perbuatan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat dalam ikatan perkawinan yang sah; pemerkosaan (Pasal 285 KUHP) akan menjadi mencakup semua kekerasan atau ancaman kekerasan untuk bersetubuh, baik oleh laki-laki terhadap perempuan ataupun perempuan terhadap laki-laki. Kemudian, perbuatan cabul (Pasal 292 KUHP) akan menjadi mencakup setiap perbuatan cabul oleh setiap orang dengan orang dari jenis kelamin yang sama, bukan hanya terhadap anak di bawah umur,” ujar Hakim Konstitusi Saldi Isra membacakan pertimbangan putusan seperti dikutip laman resmi MK.  

 

Permohonan ini dinilai bukan sekadar memohon kepada Mahkamah memberi pemaknaan tertentu terhadap norma UU, bukan pula sekadar memperluas pengertian norma UU yang dimohonkan, melainkan benar-benar merumuskan tindak pidana baru. Hal ini (merumuskan tindak pidana baru) sebenarnya hanya pembentuk UU yang berwenang melakukannya. Argumentasi bahwa proses pembentukan UU memakan waktu lama tidak dapat dijadikan alasan pembenar bagi Mahkamah untuk mengambil-alih wewenang pembentuk UU.  

 

“Lagi pula, menghilangkan frasa tertentu dan/atau menambahkan pemaknaan baru terhadap suatu norma hukum pidana berarti mengubah pula sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) perbuatan itu tanpa melakukan perubahan atau penyesuaian dalam ancaman pidana (strafmaat) dan bentuk pengenaan pidana (strafmodus) tidaklah dapat diterima oleh penalaran hukum dalam merancang suatu norma hukum pidana karena hal itu melekat pada jenis atau kualifikasi perbuatan yang dapat dipidana atau tindak pidana (strafbaarfeit) yang bersangkutan,” papar Saldi.

 

Baca Juga: Pemerintah Tanggapi Uji Aturan Perzinaan dan Pemerkosaan

 

Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menegaskan benar bahwa putusan MK memiliki kedudukan setara dengan UU, sehingga daya ikatnya pun setara dengan UU. Namun kesetaraan itu, lanjut Maria, dalam konteks pemahaman kedudukan Mahkamah sebagai negative legislator, bukan sebagai pembentuk UU (positive legislator).

 

Dia menjelaskan benar pula bahwa Mahkamah melalui putusannya telah berkali-kali menyatakan suatu norma UU konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) atau inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Hal ini berarti mempersyaratkan pemaknaan tertentu terhadap suatu norma UU untuk dapat dikatakan konstitusional. Artinya, jika persyaratan itu tidak terpenuhi, norma UU dimaksud inkonstitusional.

 

Pengujian UU ini pada pokoknya berisi permohonan kriminalisasi maupun dekriminalisasi terhadap perbuatan tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh Mahkamah. Sebab, hal itu merupakan salah satu bentuk pembatasan hak dan kebebasan seseorang dimana pembatasan demikian sesuai Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 adalah kewenangan eksklusif pembentuk UU. Hal ini penting ditegaskan sebab sepanjang berkenaan kebijakan politik hukum pidana, hal itu sepenuhnya wilayah kewenangan pembentuk UU.

 

“Meskipun secara konstitusional memiliki kewenangan menetapkan kebijakan kriminalisasi, pembentuk UU pun harus sangat berhati-hati. Pembentuk UU harus benar-benar memperhatikan bukan hanya perkembangan hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia, tetapi juga perkembangan dunia,” jelasnya.

 

Bukan menolak gagasan pemohon 

Terkait dalil para pemohon bahwa fenomena sosial dalam masyarakat berupa perilaku menyimpang akan terselesaikan secara efektif jika dinyatakan sebagai tindak pidana dan menghukum pelakunya, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menegaskan hukum hanyalah salah satu kaidah sosial atau kaidah kemasyarakatan yang bertujuan menciptakan sekaligus memelihara tertib sosial dalam kehidupan masyarakat.

 

Sebab, terdapat banyak kaidah sosial lain yang juga bertujuan menciptakan dan memelihara tertib sosial yakni kaidah kesusilaan, kesopanan, dan agama. Pandangan para sosiolog yang telah diterima secara umum menyatakan ketertiban sosial akan tercipta manakala segenap kaidah kemasyarakatan itu bekerja atau berfungsi dengan baik. Dimulai dari kaidah kesusilaan, kaidah kesopanan, kaidah agama, dan terakhir barulah kaidah hukum.

 

Palguna melanjutkan tugas hukum akan menjadi jauh lebih ringan manakala kaidah kesusilaan, kesopanan, dan agama itu ditaati oleh masyarakat yang lahir dari kesadaran bahwa kaidah-kaidah itu dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga menimbulkan rasa wajib moral untuk mentaatinya. Khusus kaitannya dengan kaidah hukum, sambungnya, kaidah yang ada dalam lapangan hukum pidana menempati urutan terakhir. Artinya, hukum pidana baru akan digunakan apabila kaidah kesusilaan, kaidah kesopanan, kaidah agama, dan kaidah hukum dalam bidang lain telah tidak memadai lagi. Karena itu, hukum pidana dikatakan sebagai “obat terakhir” (ultimum remedium).

 

Dengan demikian, membebankan seluruh tanggung jawab menata fenomena sosial berupa perilaku yang dianggap menyimpang (deviant behavior) semata-mata pada kaidah hukum, lebih-lebih hanya pada kaidah hukum pidana, tidaklah proporsional. Bahkan, cenderung terlalu menyederhanakan persoalan.

 

“Pertimbangan ini bukan hendak menafikan peran hukum, termasuk hukum pidana, semata-mata menegaskan tertib sosial itu tidak hanya tercipta karena paksaan kaidah hukum (kriminalisasi), tetapi harus didasari adanya rasa wajib moral untuk taat pada seluruh kaidah kemasyarakatan yang ada dengan kesadaran bahwa kaidah-kaidah sosial itu dibutuhkan dalam kehidupan bersama."

 

Dalam konteks itu, pendidikan memegang peranan penting, sehingga dibutuhkan kesatuan pandangan perihal tata nilai yang harus dikembangkan dalam ketiga lingkungan pendidikan yang ada, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat.

 

Meski begitu, Palguna menegaskan seluruh pertimbangan hukum tersebut bukan berarti menolak gagasan “pembaruan” para pemohon sebagaimana tercermin dalam dalil-dalil permohonannya. Bukan pula berarti Mahkamah berpendapat norma hukum pidana yang ada dalam KUHP, khususnya yang dimohonkan sudah lengkap. Mahkamah, tegasnya, menyatakan norma pasal-pasal dalam KUHP yang dimohonkan pengujian tidak bertentangan dengan UUD 1945.

 

“Perihal perlu atau tidaknya dilengkapi, hal itu sepenuhnya kewenangan pembentuk UU melalui kebijakan politik hukum pidana (criminal policy). Karena itu, gagasan pembaruan yang ditawarkan para pemohon seharusnya diajukan kepada pembentuk UU. Hal tersebut seharusnya menjadi masukan penting bagi pembentuk UU dalam proses penyelesaian perumusan KUHP yang baru,” sarannya.

 

Dissenting opinion

Dalam putusan tersebut, terdapat empat hakim konstitusi mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion) yakni Ketua MK Arief Hidayat, Wakil Ketua MK Anwar Usman, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Aswanto. Keempatnya berpandangan konteks Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menegaskan jati diri dan identitasnya sebagai konstitusi yang berketuhanan (godly constitution) terlihat jelas bahwa nilai agama dan ketertiban umum diberi posisi dan fungsi sebagai salah satu pedoman yang harus dipatuhi dalam membentuk norma UU.  

 

“Manakala terdapat norma UU yang mereduksi, mempersempit, melampaui batas, dan/atau justru bertentangan dengan nilai agama, maka norma UU itulah yang harus disesuaikan agar tidak bertentangan dengan nilai agama dan ajaran ketuhanan,” ujar Hakim Konstitusi Aswanto.

 

Dalam konteks kriminalisasi, mereka sependapat bahwa Mahkamah seharusnya mengambil sikap membatasi diri (judicial restraint) untuk tidak menjadi “positive legislator” dengan memperluas ruang lingkup suatu tindak pidana (strafbaarfeit). Akan tetapi, persoalannya norma UU a quo secara nyata mereduksi dan bahkan bertentangan dengan nilai agama dan sinar ketuhanan yang pada dasarnya bersifat ‘terberi’ (given) bagi ketertiban dan kesejahteraan kehidupan manusia.

 

“Sebab adultery dan fornication sejatinya merupakan mala in se dan bukan mala prohibita karena sifat ketercelaannya (verwijtbaarheid) bersifat intrinsik dan jelas disebutkan dalam Al Qur’an serta berbagai kitab suci lain, sehingga aspek persetujuan (perwakilan) rakyat tidak menjadi aspek yang sine qua non seperti ketika suatu negara harus memutuskan akan melakukan atau tidak melakukan kriminalisasi terhadap suatu perbuatan yang bersifat mala prohibita,” jelas Aswanto.

 

Aswanto menerangkan dengan menyatakan bahwa zina seharusnya meliputi adultery dan fornication, Mahkamah sejatinya memang tidak menjadi “positive legislator” atau memperluas ruang lingkup suatu tindak pidana (strafbaarfeit). Akan tetapi, (seharusnya) mengembalikan konsep zina sesuai nilai hukum dan keadilan menurut berbagai nilai agama dan hukum yang hidup dalam masyarakat di Indonesia, yang (selama ini) telah dipersempit ruang lingkupnya selama ratusan tahun oleh hukum positif “warisan” pemerintah kolonial Hindia Belanda, sehingga hanya meliputi adultery (perzinaan) saja berdasarkan Pasal 284 KUHP.

 

Karena itu, Mahkamah dalam konteks ini seharusnya ber-ijtihad (menciptakan hukum), melakukan moral reading of the constitution dan bukan justru menerapkan prinsip judicial restraint. Upaya rekriminalisasi melalui putusan pengadilan sejatinya juga bukanlah hal yang tabu atau bahkan diharamkan bagi hakim. Sebab, melalui judicial activism, hakim (khususnya hakim konstitusi) justru berkewajiban untuk menjaga, meluruskan, dan menyeleraskan hukum pidana dengan dinamika kehidupan masyarakat.

 

“Dengan demikian, berdasarkan ratio decidendi sebagaimana tersebut di atas, kami berpendapat bahwa Mahkamah seharusnya mengabulkan permohonan para pemohon,” tegas Aswanto.

Tags:

Berita Terkait