Dana Relawan Butuh Aturan
Berita

Dana Relawan Butuh Aturan

Partai politik pun menggunakan tim relawan. Jika tak diatur, berpotensi timbulkan masalah di kemudian hari.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Andi Syafrani dan Amalia Ayuningtyas, dua penggerak relawan Teman Ahok. Foto: ASH
Andi Syafrani dan Amalia Ayuningtyas, dua penggerak relawan Teman Ahok. Foto: ASH
Voluntarisme atau aksi-aksi tim relawan yang terbangun untuk mendukung pencalonan seseorang bukan terjadi sekarang saja. Teman Ahok, sekumpulan relawan yang mendukung pencalonan Basuki Tjahaja Purnama dalam pilkada DKI Jakarta, hanya salah satu dari fenomena yang marak sejak pemilihan presiden 2014 silam.

Munculnya voluntarisme patut diapresiasi. Menurut Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesian Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, voluntarisme seperti Teman Ahok menghadirkan kandidat alternatif dalam pemilihan. Pemilih punya opsi selain yang ditawarkan partai politik. Namun tim relawan tetap perlu memenuhi prinsip transparansi publik. Apalagi tak semua lembaga bisa mengumpulkan dana dalam bentuk sumbangan.

Dugaan aliran dana 30 miliar dari pengembang kepada Teman Ahok memang belum terbukti. Tetapi kasus ini semakin mendorong pentingnya aturan penerima dana dan pengumpulan dana oleh tim relawan dalam pemilihan umum atau pilkada. Kini, KPK sudah melakukan penyelidikan atas tudingan penerimaan dana 30 miliar tersebut.

Menurut Donal, penting ditelusuri secara projustisia apakah aliran dana atau pengumpulan dana bersinggungan dengan tindak pidana atau tidak. Jika ada aturan yang jelas, maka penelusuran dana dan pertanggungjawabannya semakin mudah dibuktikan. Penelusuran dana pemenangan elektoral itu penting karena negosiasi politik terjadi sebelum dimulainya tahapan pemilu atau pilkada. “Laporan keuangan ini penting untuk transparansi dan akuntabilitas dana relawan,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (24/6).

Peneliti Perludem, Heroik Pratama, menilai kerja-kerja yang dilakukan relawan dalam pemenangan pemilu hampir sama seperti parpol. Oleh karenanya, penting agar ada payung hukum mengenai relawan. Misalnya, keharusan mendaftarkan relawan ke KPU. Demikian pula pengumpulan dana atau penerimaan dana oleh tim relawan yang dimungkinkan secara hukum. Semua itu butuh aturan yang jelas.

Heroik mengingatkan, belum ada regulasi yang mengatur kegiatan yang dilakukan calon kandidat dan pendukungnya (relawan) sebelum tahapan elektoral dimulai. Padahal, banyak kegiatan terkait pemenangan elektoral yang dilakukan calon kandidat dan para pendukungnya sebelum tahapan pemilu atau pilkada.

Solusinya, imbuh Heroik, dalam jangka panjang sistem kepemiluan harus direformasi terutama tahapan pemilu. Sehingga kegiatan yang dilakukan pra pemilu masuk dalam tahapan pemilu. Penghimpunan dana yang dikelola serta kegiatan yang dilakukan baik oleh parpol dan relawan harus dilaporkan ke KPU.

Sebagai solusi jangka pendek, Heroik berpendapat KPU bisa menerbitkan aturan yang mengatur keterlibatan relawan dalam kontestasi pemenangan kandidat. “Ketentuan ini bisa dimasukan dalam rancangan Peraturan KPU tentang Kampanye yang saat ini disusun oleh KPU pusat,” usulnya.

Koordinator JPPR, Masykurudin Hafiz, yakin ada dana yang digunakan untuk membiayai kegiatan relawan seperti pelatihan, makan dan transportasi. Menurutnya, posisi relawan yang menerima dana sumbangan untuk pemenangan kandidat yang diusungnya berhak menggunakan sebagian dana yang dikelolanya untuk menyelenggarakan kegiatan dan operasional relawan. Yang paling penting, setiap dana yang diterima dan dikeluarkan oleh relawan harus tercatat secara rapi dan transparan.

Dengan transparansi itu masyarakat dapat melacak siapa penyumbang dan mengetahui bagaimana pengelolaan dana yang diterima relawan. Sekaligus masyarakat bisa menilai apakah kandidat yang bersangkutan layak dipilih atau tidak. Sebab, sumbangan yang diberikan oleh penyumbang biasanya sarat kepentingan yang disematkan kepada kandidat. “Berdasarkan daftar para penyumbang itu masyarakat bisa menentukan apakah akan memilih calon yang bersangkutan atau tidak, belum tentu kepentingan penyumbang sejalan dengan kepentingan pemilih,” paparnya.

Terakhir, Masykurudin melihat kemunculan gerakan relawan dalam kegiatan elektoral sebagai kritik masyarakat terhadap parpol. Di negara lain yang demokrasinya maju, kandidat yang berasal dari calon perseorangan tidak dipersulit karena parpol butuh itu sebagai kritik. “Calon perseorangan itu muncul karena parpol selama ini belum mengakomodasi kepentingan pemilih,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait