Defisit Diperkirakan Rp30 Triliun, Pemerintah Diminta Segera Naikan Iuran JKN
Berita

Defisit Diperkirakan Rp30 Triliun, Pemerintah Diminta Segera Naikan Iuran JKN

Menaikan iuran JKN-KIS untuk semua segmen peserta diyakini sebagai solusi tepat untuk mengatasi defisit JKN-KIS.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Bagi Timboel pemerintah harus cepat mengambil tindakan guna mengatasi persoalan defisit JKN. “Solusi kenaikan ini tepat, pemerintah harusnya menaikan iuran untuk semua segmen kepesertaan JKN-KIS,” usulnya.

 

Upaya yang perlu dilakukan pemerintah menurut Timboel, mengevaluasi kinerja direksi BPJS Kesehatan, meningkatkan kualitas FKTP (fasilitas kesehatan tingkat pertama), sehingga dapat menurunkan tingkat rujukan. Kemudian meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum untuk meminimalisir kecurangan fraud di fasilitas kesehatan.

 

Untuk itu, Timboel mendesak DPR untuk mendorong pemerintah segera mengusulkan kenaikan besaran iuran JKN, sehingga dapat disepakati dan dituangkan dalam APBN perubahan dan revisi Perpres No.82 Tahun 2018. DJSN juga perlu melakukan kajian dan penelitian tentang besaran iuran dan manfaat serta mengusulkan berapa besaran kenaikan iuran PBI kepada pemerintah.

 

Akreditasi faskes

Hasil penelitian Lokataru Foundation menyimpulkan kerja sama yang dijalin antara faskes dan BPJS Kesehatan mempengaruhi pelayanan terhadap peserta JKN-KIS. Akreditasi merupakan salah satu kewajiban yang harus dipenuhi faskes yang ingin menjadi mitra BPJS Kesehatan. Dalam sejumlah kasus peserta tidak bisa mendapat pelayanan kesehatan di faskes karena persoalan akreditasi. Masalah ini membuat hak peserta JKN untuk mendapat pelayanan kesehatan menjadi terhambat.

 

Dalam rangka menyelesaikan persoalan ini Lokataru Foundation merekomendasikan sedikitnya dua hal. Pertama, Kementerian Kesehatan bersama Komisi Akreditasi RS (KARS), Komisi Akreditasi FKTP IKA-FKTP, dan BPJS Kesehatan untuk meninjau ulang pada tingkat teknis bagaimana rangkaian proses akreditasi fasilitas kesehatan yang telah berlangsung dengan tetap berorientasi pada pemenuhan hak atas kesehatan dan jaminan sosial.

 

“Jeritan” setiap fasilitas kesehatan yang terkendala terkait proses akreditasi ini harus diserap oleh KARS maupun Kementerian Kesehatan melalui asosiasi fasilitas kesehatan, sehingga dapat dijadikan evaluasi bersama demi menjaga aksesibilitas dan kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Melalui Kementerian Kesehatan, KA-FKTP, KARS, dan BPJS Kesehatan dapat menerbitkan kebijakan yang menetapkan proses akreditasi dapat berlangsung tanpa memutus kerja sama faskes dengan BPJS Kesehatan.

 

Pemutusan kerja sama itu mempengaruhi akses masyarakat yang membutuhkan pelayanan di faskes karena peserta harus mencari faskes lain yang menjadi mitra BPJS Kesehatan. Hal ini dapat menimbulkan penumpukan antrian peserta di faskes lain.

 

Kedua, Presiden Joko Widodo perlu mengevaluasi sistem JKN-KIS yang diselenggarakan BPJS Kesehatan sejak 2014. Persoalan akreditasi faskes dapat menjadi hambatan bagi Indonesia untuk mencapai cakupan jaminan kesehatan semesta (UHC). Cita-cita mencapai UHC itu tidak dapat tercapai dengan mendaftarkan seluruh penduduk dalam program JKN-KIS, tapi harus memastikan ketersediaan dan kualitas pelayanan faskes yang memadai di seluruh Indonesia.

Tags:

Berita Terkait