Edmon Makarim, Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) mengkritik penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam pelayanan publik oleh pemerintah. Ada dua salah kaprah dalam digitalisasi pemerintahan yang luput dicermati. Ia menyampaikan kritiknya dalam sambutan kunci saat membuka 4th International Conference on Law and Governance (icLave), Rabu (2/11/2022) di Gumaya Tower Hotel, Semarang, Jawa Tengah.
“Ketergantungan kita pada TIK menimbulkan risiko yang terbukti dari kasus-kasus baru-baru ini seperti Hacker Bjorka, Ransomware atau bahkan risiko imperialisme digital,” kata pakar hukum telematika FHUI ini. Edmon adalah seorang sarjana ilmu komputer selain juga pakar hukum. Ia termasuk dari segelintir pakar hukum soal teknologi di Indonesia yang terdidik secara akademik dalam ilmu pengetahuan teknologi.
Baca Juga:
- FHUI Gelar icLave 2022, Mencari Solusi Hukum Hadapi Masa New Normal
- Pakar FHUI Luncurkan Buku Praktis Pahami Keuangan Negara
- Penilaian Besarnya Kerugian Keuangan Negara Bergantung Hitungan Hakim
Edmon berkeyakinan teknologi seharusnya tidak memperbudak masyarakat, “Kita tidak boleh terlalu bergantung pada teknologi yang ada”. Sayangnya, era new normal bahkan telah memacu disrupsi teknologi baru jauh lebih pesat. “Sejauh mana kita bergantung pada teknologi di dunia pascapandemi ini?” ujar Edmon melontarkan pertanyaaan.
Sorotan utama Edmon terutama pada kenyataan yang tejadi dalam pemerintahan. Ia merujuk data yang diungkapkan Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani. Pemerintah mencatat ada setidaknya ada 24.000 aplikasi pemerintah yang telah diperkenalkan ke publik.
Berikut ini dua salah kaprah dalam digitalisasi pemerintahan yang menjadi poin kritik Edmon.
1. Pemerintahan menjadi lebih efisien dan efektif
“Ada anggapan bahwa digitalisasi pemerintahan akan membuat kerja dan fungsi lembaga pemerintah menjadi lebih efisien dan efektif. Saya berpendapat di sini bahwa itu adalah kesalahpahaman yang mengakar,” kata Edmon.
Edmon yakin bahwa penggunaan teknologi harusnya mengikuti keadaan masyarakat sebagai pengguna pelayanan publik. Pengguna akhir harus tetap diberikan kebebasan memilih teknologi.