Deklarasi Peradi: Pendakian Menuju ‘Satu' Wadah
Utama

Deklarasi Peradi: Pendakian Menuju ‘Satu' Wadah

Hari ini, Kamis 7 April 2005, hanya berselang dua hari dari hari jadi UU Advokat yang kedua, advokat Indonesia akan mendeklarasikan secara resmi berdirinya Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi).

Oleh:
Amr
Bacaan 2 Menit
Deklarasi Peradi: Pendakian Menuju ‘Satu' Wadah
Hukumonline

Perjalanan advokat Indonesia dalam membentuk satu wadah organisasi advokat sungguh terjal dan mendaki. Sejarah mencatat, bersatunya para advokat selalu diikuti dengan perpecahan. Kewibawaan advokat Indonesia jatuh, bangun, dan kemudian jatuh lagi. Kami merangkum perjalanan panjang pergulatan menuju satu wadah organisasi advokat Indonesia. Semoga para advokat dapat bercermin dan beranjak ke arah yang lebih baik dari pahit-manisnya pendakian keras nan melelahkan.

 

Tabel: Organisasi advokat Indonesia dalam lintasan sejarah*

14 Maret 1963

Seminar Hukum Nasional didirikanlah Persatuan Advokat Indonesia (PAI). Ketua PAI yang pertama adalah Mr. Loekman Wiriadinata. Lahirnya PAI merupakan masa transisi menuju terbentuknya wadah tunggal advokat di Indonesia kala itu. Sehingga boleh dikatakan PAI adalah embrio dari Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) kelak.

30 Agustus 1964

Para advokat mendirikan Peradin yaitu pada Kongres I Musyawarah Advokat di Hotel Dana, Solo. Pendirian Peradin merupakan wujud keprihatinan para advokat terhadap wajah hukum dan peradilan Indonesia masa itu. Pemerintah Orde Lama waktu itu memberlakukan konsep catur tunggal yang mendudukan posisi hakim, polisi, dan jaksa sejajar dengan komponen pemerintah lain seperti kepala daerah setempat dan komponen keamanan.

3 Mei 1966

Dikeluarkannya Surat Pernyataan Bersama Menteri Panglima Angkatan Darat selaku Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) yang menunjuk Peradin sebagai pembela tokoh-tokoh pelaku G 30 S PKI  sekaligus sebagai satu-satunya wadah organisasi para advokat di Indonesia.

1977-1978

Seiring dengan tidak harmonisnya hubungan Peradin dengan pemerintah Orba, beberapa anggota Peradin yang menikmati kemapanan material sejak rezim Orba kemudian mengundurkan diri dan membentuk Himpunan Penasehat Hukum Indonesia (HPHI). Langkah itu diambil semata-mata karena mereka tidak setuju dengan penajaman visi dan misi Peradin yang semakin mengukuhkan diri sebagai organisasi yang memiliki komitmen terhadap demokrasi dan rule of law. Di sinilah awal dari pudarnya dukungan total pemerintah kepada Peradin.

1979

Gejala berpalingnya pemerintah dari Peradin direfleksikan dengan izin pemerintah atas pembentukan LPPH (Lembaga Pelayanan dan Penyuluhan Hukum) yang dipimpin Albert Hasibuan. LPPH adalah salah satu underbow dari Golongan Karya, partai yang berkuasa saat itu, dan juga ditengarai dimaksudkan semata untuk menandingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang dibentuk Peradin sebelumnya.

1981

Ketua Mahkamah Agung Mudjono, Menteri Kehakiman Ali Said, dan Jaksa Agung Ismail Saleh dalam Kongres Peradin di Bandung sepakat mengusulkan perlunya dibentuk Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) sebagai wadah tunggal advokat.

10 November 1985

Setelah melalui negosiasi yang panjang, Peradin akhirnya setuju dengan usulan pembentukan Ikadin dengan konsesi bahwa Harjono Tjitrosoebono dari Peradin akan menduduki sebagai ketua pertama Ikadin. Seluruh anggota Ikadin berikrar bahwa Ikadin adalah wadah tunggal profesi advokat.

1987

Pemerintah memberikan izin pendirian Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI) sebagai wadah bagi para pengacara praktek. IPHI didirikan di Surabaya dan diketuai oleh Abdul Azis Muhammad Bahlmar. Pendirian IPHI didasarkan pada dikotomi antara advokat dan pengacara praktek. Keberadaan Ikadin dianggap hanya memberi wadah bagi advokat dan tidak mengakomodasi para pengacara praktek.

1988

Kongres Ikadin yang pertama Harjono kembali menduduki posisi sebagai ketua umum. Ini menandakan kegagalan pemerintah untuk menempatkan orang yang dapat mengontrol para advokat melalui Ikadin. Dengan bergabungnya anggota-anggotanya ke dalam Ikadin, tidak berarti Peradin telah dibubarkan. Peradin hanya masuk ke dalam kondisi demisioner karena ditinggalkan anggotanya yang masuk ke Ikadin.

Beberapa konsultan hukum mendirikan Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI) dengan tujuan mempertegas perbedaan karakteristik antara konsultan hukum dengan profesi hukum lainnya.

4 April 1989

Sejumlah konsultan hukum, advokat, penasehat hukum, dan Pengacara Praktek mendirikan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM).

27 Juli 1990

Dua ratusan anggota Ikadin dari kubu Gani Djemat-Yan Apul, yang pada waktu itu sedang mengikuti Musyawarah Nasional Ikadin di Hotel Horison, Ancol, Jakarta Utara, yang kemudian menyatakan keluar dari Ikadin karena proses pemilihan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Ikadin periode 1990-1994 dinilai telah menyalahi Anggaran Dasar Ikadin. Kubu Djemat-Apul, yang berseberangan dengan kubu Tjitrosoebono, kemudian mengadakan rapat di Putri Duyung Cottage di kawasan Taman Impian Jaya Ancol. Secara sepontan mereka sepakat berikrar mendirikan organisasi advokat yang bernama Asosiasi Advokat Indonesia (AAI). Mereka yang turut mendirikan AAI dari berbagai daerah yaitu DKI Jakarta, Bandung, Ujung Pandang, Manado, Pekanbaru, Bandar Lampung, Kupang, dan Pematang Siantar.

8 April 1996

Ikadin, AAI, dan IPHI membentuk wadah kerjasama bernama Forum Komunikasi Advokat Indonesia (FKAI) yang berfungsi sebagai wadah komunikasi organisasi advokat dalam rangka merencanakan pembinaan profesi advokat dan RUU Advokat.

Desember 2000

Pengurus Peradin cabang Jakarta memasang iklan di Majalah Mingguan Tempo yang meminta para anggota Peradin melakukan pendaftaran ulang.

11 Pebruari 2002

Ikadin, AAI, IPHI, HAPI, SPI, AKHI, dan HKHPM membentuk Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) menggantikan FKAI, dalam rangka menyongsong satu organisasi advokat Indonesia. Semangat pembentukan KKAI juga semangat dilandasi keinginan untuk merebut pelaksanaan ujian pengacara praktek dari pengadilan tinggi. Koordinator FKAI dan KKAI awal dipegang oleh Ketua Umum Ikadin Soedjono. Seiring terpilihnya Otto Hasibuan sebagai Ketua Umum Ikadin, ia kemudian menggantikan Soedjono di tengah periode KKAI jilid satu.

18 Pebruari 2003

Sekelompok sarjana syariah mendirikan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI).

23 Mei 2003

KKAI memprakasai dan merampungkan Kode Etik Advokat Indonesia sebagai satu-satunya peraturan kode etik yang diberlakukan dan berlaku di Indonesia, bagi mereka yang menjalankan profesi advokat.

5 April 2003

Pemerintah mengundangkan UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat. UU Advokat mengamanatkan advokat Indonesia untuk membentuk wadah tunggal Organisasi Advokat.

16 Juni 2003

Diakhirinya KKAI jilid satu, sekaligus menandakan dimulainya KKAI jilid dua dimana APSI turut serta di dalamnya. KKAI jilid dua mempunyai tiga buah misi yang harus diselesaikan. Ketiga misi tersebut adalah mempersiapkan pembentukan Organisasi Advokat, mempersiapkan Tim Sertifikasi, dan menyelenggarakan pendaftaran dan verifikasi.

Juni 2003-Maret 2004

Pendaftaran ulang seluruh advokat di Indonesia yang menghasilkan Kartu Tanda Pengenal Advokat (KTPA). Kurang lebih 15 ribu advokat/pengacara praktek ikut serta dalam proses yang dilaksanakan oleh KKAI ini.

21 Desember 2004

Deklarasi pendirian Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Peradi didirikan tanpa Anggaran Dasar. Eksistensi delapan organisasi advokat yang ada sebelumnya tetap dipertahankan. Otto Hasibuan, melalui konsensus diantara 8 ketua umum organisasi, diangkat sebagai Ketua Peradi pertama. Penunjukkan Otto sebagai Ketua Umum Peradi juga sempat diwarnai debat a lot karena Ketua Umum IPHI Indra Sahnun Lubis awalnya menentang mekanisme penunjukkan yang hanya berdasarkan konsensus, bukan suara terbanyak.

7 April 2005

Peluncuran resmi Peradi.

* Pusat Data hukumonline, diolah dari berbagai sumber.
Tags: