Demi Pengawasan, Hatta Ali Tak Gentar Gertakan Preman
LIPUTAN KHUSUS

Demi Pengawasan, Hatta Ali Tak Gentar Gertakan Preman

Pengalaman sebagai pengawas di Inspektorat Jenderal Departemen Kehakiman dan terlibat Operasi Tertib (Opstib) jadi bekal pengawasan Hatta Ali di MA.

Oleh:
Tim Hukumonline
Bacaan 2 Menit
Hampir tengah malam Hatta Ali dan seorang rekannya menyusuri jalan sebuah desa di Brebes, Jawa Tengah. Keringat bercucuran, karena mereka berjalan kaki dari jalan raya ke jalan desa yang tidak bisa dilalui kendaraan bermotor. Kondisi jalan sepi dan gelap, Hatta sempat berucap kepada rekannya, “kalau kami dibunuh di tengah hutan ini, habis sudah!”Berpapasan dengan warga setempat Hatta tak lupa menanyakan alamat yang diarah. Merasa jaraknya dekat, warga desa yang dijumpainya itu mengatakan sebentar lagi sampai, rumahnya sudah dekat.Ternyata, Hatta dan rekannya harus berjalan berjam-jam lamanya untuk mencapai alamat tujuan yang jaraknya masih jauh. Sesampainya di lokasi dia menghitung jarak yang ditempuhnya dengan berjalan kaki itu sampai 10 kilometer. Sambil terengah-engah, Hatta mengetuk pintu, penghuni yang keluar rupanya penyandang disabilitas yang tidak mampu melihat.Dari data yang dipegangnya, penyandang disabilitas itu merupakan pelapor yang mengadukan Ketua Pengadilan pada sebuah daerah di Jawa Tengah dengan tuduhan menerima suap. Pemeriksaan pelapor dimulai, Hatta melontarkan sejumlah pertanyaan. “Apakah anda membuat laporan ini?” tanya Hatta, ternyata penyandang disabilitas itu tidak mengerti adanya laporan tersebut. Dia pun tidak tahu siapa yang bertanda tangan di surat itu karena dia mengaku tidak bisa tanda tangan.Hatta mulai curiga dengan berkas pengaduan yang diterimanya itu. Dari hasil pemeriksaan itu Hatta menyimpulkan pengaduan itu dibuat oleh orang lain. Kecurigaannya bertambah karena orang yang disambanginya itu menyebut hakim yang menyidangkan perkara sangat baik. Diketahui ternyata penyandang disabilitas itu sempat berperkara di pengadilan soal sengketa tanah dan menang. Sehingga dia menyebut hakim yang menyidangkan perkaranya itu baik. Dia pun mengaku tidak pernah datang ke persidangan karena sudah diwakili kuasa hukum.Usai memeriksa pelapor sekamir pukul 02.00, Hatta dan rekannya kembali ke hotel tempat menginap. Dengan menelusuri jalan desa yang dilalui sebelumnya mereka berjalan kaki menuju jalan raya. Disana sudah ada taksi yang disewanya menunggu di tepi jalan.   (Ikuti ISU HANGAT: Menapaki Sunyinya Jalan Hakim Pengawasan)Esoknya, Hatta memeriksa Ketua Pengadilan di Jawa Tengah yang jadi target investigasnya itu. Hatta menghujaninya dengan pertanyaan, “apa anda kenal pihak berperkara?” Ketua pengadilan menjawab, “ya saya kenal,” Hatta bertanya lagi, “apa dia pernah datang sidang?” dijawab ketua pengadilan, “pernah sekali, didampingi kuasa hukum.”Kemudian, Hatta menunjukkan hasil pemeriksaannya terhadap pelapor yang menyandang disabilitas itu kepada ketua Pengadilan. Disitu tertulis kronologis yang dicap jempol oleh pelapor. Kepada ketua pengadilan itu Hatta berkilah salah satu pengakuan pelapor menjelaskan ketua pengadilan menerima uang lebih dari satu kali, diantaranya sebesar Rp500 ribu.Tanpa membaca sendiri hasil pemeriksaan Hatta terhadap pelapor, ketua pengadilan itu mengaku telah menerima sejumlah uang dari pihak berperkara. Padahal, isi hasil pemeriksaan itu isinya penyangkalan, tidak ada yang menunjukan ketua pengadilan itu menerima sejumlah uang, malah menyebut baik hakim yang menyidang perkara. “Memang ini menjebak, belakangan saya menyesal juga menjebak orang,” kata Hatta menceritakan pengalamannya melakukan pengawasan sebagai anggota Inspektorat Jenderal (Irjen) di Departemen Kehakiman sekamir tahun 1980 kepada hukumonline.com, Jumat (12/08).Menganalisa kasus tersebut Hatta mengatakan pelapor tidak membuat laporan itu. Pengaduan itu disinyalir dibuat pihak lawan yang ditujukan untuk menjatuhkan hakim yang menyidangkan perkara terkait sengketa tanah itu. Dalam laporan yang diterimanya itu seolah pelapor adalah penyandang disabilitas yang mengaku menyuap hakim yang menyidangkan perkaranya.Sepanjang karirnya sebagai pengawas di Irjen Departemen Kehakiman -sekarang Kementerian Hukum dan HAM- Hatta mengaku paling mengingat peristiwa itu karena dia harus berjalan sejauh 10 kilometer untuk memeriksa pelapor. “Itu jalan kaki saya paling jauh selama bertugas di Irjen,” ujarnya sambil tertawa.Walau begitu Hatta menilai bisa jadi ketua pengadilan itu benar menerima suap tapi dalam kasus lain. Oleh karenanya ketua pengadilan itu mengaku telah menerima sejumlah uang dari pihak berperkara. Menurut Hatta, itu teknik pengawasan dalam menginvestigasi sebuah laporan atau pengaduan. Hal pertama yang ditelusuri adalah informasi yang disampaikan pelapor, bukan menyambangi terlapor. “kami akan sulit menemukan fakta yang sebenarnya jika terlebih dulu meminta keterangan terlapor,” ujar Hatta. Selama bertugas melakukan pengawasan di Irjen Departemen Kehakiman hal tersebut sudah menjadi prosedur tetap (protap). Pengawas yang melakukan investigasi tidak mungkin mendatangi duluan terlapor. Kadang itu dilakukan setelah beberapa hari mencari informasi lain tanpa sepengetahuan pihak pengadilan yang ditarget.Pada tahun yang sama, sewaktu di Irjen Departemen Kehakiman, Hatta mendapat informasi ada pungutan liar (pungli) dalam proses pengurusan kewarganegaraan di Surabaya. Ketika itu Departemen Kehakiman dipimpin Mudjono, pemerintah sedang menggencarkan Operasi Tertib (Opstib), salah satu sasarannya memberantas pungli.Guna mencari tahu adanya pungli dalam proses pelayanan publik itu, Hatta menyamar sebagai warga yang mau mengurus kewarganegaraan. Berhasil mengantongi 10 nama orang yang sudah mengurus kewarganegaraan, Hatta melakukan wawancara. Hasilnya digunakan sebagai bahan untuk memeriksa petugas yang dicurigai melakukan pungli.Demi menjalankan tugas pengawasan, Hatta pernah merogoh kocek sendiri untuk membayar ongkos taksi seorang pelapor yang diperiksa. Kejadian itu berlangsung di Papua, dalam laporan yang diterima ada nomor telepon pelapor. Untuk menggali informasi lebih dalam Hatta dan timnya sepakat untuk memanggil pelapor ke hotel tempat tim menginap. (Baca juga: Cerita Strategi ’Makelar Mobil’ Memergoki Hakim Nakal)Kebetulan, jarak hotel dengan lokasi pelapor sangat jauh. Pelapor menuju hotel menggunakan taksi. Walau proses pemeriksaan belum dimulai, sesampainya di hotel pelapor langsung menagih ongkos taksi yang belum dibayar. Selesai pemeriksaan, pelapor lagi-lagi minta ongkos taksi untuk pulang. “Sampai di hotel dia langsung klaim, bos, taksi belum dibayar,” kata Hatta mengisahkan peristiwa itu.Salah satu tantangan yang dihadapi pengawas ketika itu minimnya perbekalan. Untuk membayar ongkos taksi pelapor yang diperiksa itu Hatta dan rekan-rekannya satu tim harus patungan. “Ini habis ongkos saya bertugas satu minggu hanya untuk bayar ongkos taksi,” ceritanya.Tugas pengawasan bisa dibilang beresiko. Bisa jadi pihak yang diperiksa melakukan perlawanan. Hatta pernah mengalami itu saat bertugas di Irjen Departemen Kehakiman. Kejadiannya seputar 1980, Hatta ditugaskan memeriksa wakil ketua pengadilan di daerah Sulawesi Selatan yang terindikasi melakukan praktik rentenir.Hatta menemui banyak pihak untuk mengumpulkan keterangan terkait wakil ketua pengadilan itu mulai dari Bupati sampai masyarakat sekamir. Dari informasi itu, ditemukan fakta target Hatta itu sudah dikenal warga sebagai rentenir. Setiap pagi, pengadilan ramai dikunjungi sebagian warga. Sayangnya, yang mereka tunggu bukan jalannya persidangan tapi mau meminjam uang kepada wakil ketua pengadilan itu. Bahkan masyarakat lebih mengenal pengadilan itu bukan sebagai lembaga peradilan tapi tempat pinjam uang. “Dia praktik renternir di ruang kerjanya sendiri, ruang wakil ketua pengadilan,” paparnya.Penampilan wakil ketua pengadilan itu menurut Hatta tidak seperti hakim pada umumnya karena dia menggunakan kalung rantai di lehernya. Perawakannya pun tinggi besar. Merasa informasi yang diperolehnya cukup, Hatta langsung memeriksa wakil ketua pengadilan tersebut. Pemeriksaan dilakukan hari Jumat pukul 09.00-11.00. Setelah melakukan pemeriksaan Hatta menunaikan sholat Jumat.
Hukumonline.com
Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali. Foto: RES

Hari menjelang malam, Hatta kembali ke hotel tempatnya menginap. Tak disangka, wakil ketua pengadilan yang diperiksa itu datang menemui Hatta. Hatta mempersilakan wakil ketua pengadilan mengutarakan maksudnya. Lantas saja wakil ketua pengadilan itu mengucapkan kalimat-kalimat bernada intimidasi.“Pak, semua keluarga saya jadi kernet bus di Garogol (Grogol,-red), saya yang membiayai mereka. Kalau saya sampai dipecat, kehilangan nafkah, bagaimana membiayai mereka? Tentu bapak yang akan dicari mereka,” kata Hatta mengulangi ucapan wakil ketua pengadilan itu. Sengaja, Hatta membiarkan wakil ketua pengadilan itu sampai selesai berbicara. Setelah itu Hatta yang sedang duduk di bangku langsung berdiri dan mengatakan “seujung kotoran kuku saya tidak takut dengan kamu,” wakil ketua pengadilan itu langsung bersimpuh dan memeluk kaki Hatta sambil menangnis meminta agar tidak dipecat.Tidak berhenti disitu, wakil ketua pengadilan itu ternyata punya jurus lain untuk menyudutkan Hatta. Dia mengadukan Hatta ke Menteri Kehakiman yang saat itu dipimpin Mudjono. Inti pengaduannya menyebut ketika melakukan pemeriksaan Hatta dituding tidak memberi izin kepada wakil ketua pengadilan itu untuk sholat Jumat.Akibat pengaduan itu Hatta dipanggil Irjen Departemen Kehakiman untuk diminta penjelasan. Untungnya, Hatta mencatat setiap detail pemeriksaan yang dilakukan berikut waktunya. Dalam laporan hasil pemeriksaan itu tercantum proses pemeriksaan dilakukan pukul 09.00-11.00. Sholat Jumat umumnya dimulai 12.00.Lucunya, wakil ketua pengadilan itu ternyata bukan beragama Islam, tapi Kristen, itu dibuktikan lewat fotokopi kartu identitas yang terlampir dalam berkas hasil pemeriksaan yang ada di atas meja Irjen. “Ini aneh, dia bukan muslim, tidak ada kebutuhan sholat Jumat, kenapa menuduh saya menghalanginya untuk sholat Jumat. Untung ada fotokopi identitasnya,” urainya sambil terkekeh. (Baca juga: Mandi Keringat di Badan Segala Urusan)Akhirnya, hasil investigasi Hatta itu jadi dasar untuk memecat wakil ketua pengadilan tersebut.Berbagai pengalaman itu membuat Hatta tidak asing dengan pengawasan. Saat menjabat sebagai Ketua Muda Pengawasan Mahkamah Agung (MA), Hatta merasa jabatan itu menyegarkan ingatannya kembali akan tugas-tugas yang pernah dilakoninya sebagai pengawas semasa Irjen di Departemen Kehakiman. Oleh karenanya saat menjabat sebagai Ketua Muda Pengawasan MA, Hatta mengaku tidak menghadapi kendala dalam menjalankan tugas pengawasan. Apalagi untuk bersinergi dengan Kepala Badan Pengawas MA, yang saat itu dijabat H.M Syarifuddin, tantangan yang ada relatif bisa diatasi.
Tags:

Berita Terkait