​​​​​​​Demokrasi Dikorupsi
Tajuk

​​​​​​​Demokrasi Dikorupsi

​​​​​​​Proses demokratisasi yang lebih efektif dalam setiap sistem kenegaraan manapun diharapkan dapat mencegah dan memberantas korupsi.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Tanggal 17 Oktober 2019 yang lalu, revisi dari UU KPK, telah resmi menjadi Undang-Undang No 19 Tahun 2019 (UU 19/2019). Masyarakat sipil yang ingin Indonesia bebas dari korupsi menjadi galau. Perppu yang "dijanjikan" atau "dipertimbangkan" Presiden ternyata belum atau tidak keluar, sampai hari ini. UU 19/2019 ini otomatis berlaku, walaupun katanya tidak ditandatangani oleh Presiden.

 

Tidak ditandatanganinya UU ini oleh Presiden memberi indikasi bahwa Presiden memilih posisi aman. Tidak memihak ke mana-mana. Kesannya independen, tetapi secara jelas menunjukkan kurang kuatnya dukungan terhadap upaya pemberantasan korupsi yang katanya merupakan ideologi politik pemerintahannya pada periode pertama, maupun janji kampanyenya untuk periode kedua yang baru saja dimasukinya tanggal 20 Oktober yang lalu.

 

UU 19/2019 masih membutuhkan peraturan pelaksanaan, dan proses pemilihan Dewan Pengawas serta sejumlah penyesuaian dalam operasional masih perlu dilakukan. Ini perlu waktu. Ini juga menimbulkan pertanyaan besar. Apakah selama beberapa bulan ke depan KPK masih bisa berfungsi seperti sebelum berlakunya UU 19/2019? Peraturan peralihan tidak secara tegas mengatur, bahwa misalnya selama masa transisi ini, seluruh ketentuan UU KPK yang lama masih berlaku, atau bahwa karenanya KPK masih berfungsi seperti sediakala berdasarkan UU KPK yang lama. Penyelidik, penyidik, penuntut, dan pimpinan KPK tentu dalam suasana keraguan dalam menjalankan tugasnya, karena salah sadap, tangkap, dan tuntut bisa-bisa nanti dianggap melanggar hukum, dan berpotensi mencemarkan reputasi KPK dan pemberantasan korupsi.

 

Masyarakat masih menunggu ada keajaiban bahwa Presiden akhirnya akan mengeluarkan Perppu yang merevisi UU 19/2019. Masyarakat berharap bahwa saat ini Jokowi masih menikmati kemenangannya, dan juga disibukkan dengan 'politik menyenangkan' para parpol pendukung dan mantan pesaingnya, dan sejenak membiarkan kita dalam kegelapan. Setelah kabinet terbentuk sekarang, dan mereka yang ingin berada di puncak kekuasaan, bahkan termasuk oposisi, sudah mendapatkan jabatan barunya, mudah-mudahan Jokowi ingat janji tersamarnya kepada para tokoh masyarakat beberapa waktu yang lalu di Istana untuk mengeluarkan Perppu.

 

Kita yang sudah kenyang makan asam garam politik dan pemerintahan mengatakan, demikianlah politik. Karena hukum dan pelaksanaan hukum erat hubungannya dengan politik, maka tidak heran bahwa perubahan politik akan menyebabkan perubahan dalam proses penentuan kebijakan hukum dan pelaksanaannya. Setiap lima tahun sekali, harapan perbaikan hasil reformasi harus ditakar ulang. Ekspektasi diturunkan, dan kerja melawan korupsi dan membangun negeri baru akan berjalan setelah hiruk pikuk politik seperti ini mereda.

 

Kalau akhirnya Perppu tidak jadi dikeluarkan ketika masa bagi-bagi kursi ini selesai dilakukan, lengkaplah pelemahan KPK. Kita akan menghadapi era baru, di mana perjuangan melawan korupsi yang sudah dilakukan selama 21 tahun terakhir akan berubah secara drastis. Dengan UU 19/2019 yang lemah, pimpinan KPK hasil seleksi yang buruk, serta susunan kabinet baru yang ikut menjadikan pelemahan ini terjadi, perjuangan melawan korupsi perlu dilakukan dengan cara yang jauh berbeda.

 

Perjuangan melawan korupsi, dengan kondisi seperti ini, mau tidak mau akan mengandalkan kekuatan dan upaya masyarakat sipil dan akar rumput. Ketika KPK dibentuk, peran masyarakat sipil bukan main besarnya dalam pembentukannya. Kini, dengan UU dan institusi KPK yang dilemahkan, kembali perjuangan itu jatuh ke pundak dan menjadi beban masyarakat sipil dan akar rumput.

 

Pertama, perlawanan harus dipusatkan pada gerakan kebudayaan. Budaya baru harus dihidupkan melalui pendidikan dasar, menengah dan tinggi dalam sistem pendidikan kita, juga lewat pesantren-pesantren, masjid-masjid, gereja-gereja, pura-pura, kuil-kuil dan kelenteng-kelenteng; juga dalam pengajian, pertemuan agama, arisan, pertemuan keluarga, reuni, acara makan-makan, jalan pagi, dan semua kegiatan masyarakat, dengan menekankan bahwa korupsi adalah tindakan yang luar biasa jahatnya, sama dengan terorisme. Korupsi  mencuri  uang negara, merampas hak rakyat, sehingga kesempatan setiap warga negara untuk mendapat pendidikan dan pelayanan kesehatan yang baik, menikmati fasilitas umum yang baik, serta hidup aman dan sejahtera dikurangi, dihalangi dan bahkan dimatikan.

 

Setiap orang yang diduga keras melakukan korupsi harus disingkirkan dan dikucilkan dari pergaulan masyarakat. Masyarakat kita dikenal pernah dengan kejam memperlakukan persekusi terhadap segolongan masyarakat, saudara-saudara kita sendiri, karena keyakinan politik, agama dan kepercayaan serta kesukuannya. Walaupun itu tindakan yang salah, batin kita tahu bahwa masyarakat kita mempunyai kemampuan untuk membenci sesuatu yang dianggap tidak sejalan dengan alur norma mayoritas.

 

Kini, rasa benci itu harusnya ditujukan kepada para koruptor. Bukan orangnya yang kita benci, bukan anggota keluarganya, tetapi perbuatan si koruptor itu. Tanyakanlah kepada mereka yang pernah mengalami persekusi di Indonesia, bagaimana rasanya selama bertahun-tahun mereka dianggap sebagai sampah masyarakat, disingkirkan, dan dikucilkan secara sosial. Tidak ada rasanya yang ingin mengalaminya. Budaya seperti ini terjadi di sejumlah negara. Swiss misalnya, sangat sukses membangun budaya benci korupsi ini.

 

Kedua, kita tahu bahwa sebagian besar kegiatan ekonomi di Indonesia masih bertumpu pada sektor swasta, dari UKM sampai dengan usaha besar maupun konglomerasi. Dengan beberapa pengecualian, tren yang sedang terjadi di dunia usaha saat ini adalah bagaimana mencegah korupsi dengan melibatkan dunia usaha. Gerakan berhenti menyuap ternyata banyak pengaruhnya terhadap budaya kerja di birokrasi. Aturan-aturan audit finansial yang diberlakukan terhadap dunia usaha harus makin diperketat, sehingga suap dan korupsi bisa ditekan dan akhirnya diakhiri. Kalau risk-based audit bisa dilakukan, environment-based audit bisa dilakukan, maka good-governance based audit juga harus bisa dipaksakan berlaku buat dunia usaha.

 

Bagaimana cara memaksanya? Mudah, mereka yang tidak melakukan good-governance based audit tidak bisa mendapatkan izin usaha termasuk izin usaha untuk pengelolaan sumber daya alam. Mereka yang tidak melakukan itu tidak bisa mendapatkan pinjaman dari bank, tidak bisa melakukan penawaran umum saham, obligasi atau efek lain. Mereka yang tidak melakukan itu tidak bisa mengikuti tender pemerintah atau BUMN/BUMD. Mereka yang tidak melakukan itu tidak akan bisa mendapatkan rating dari perusahaan-perusahaan rating. Mereka yang tidak melakukan itu tidak bisa ikut program amnesti pajak atau keringanan pajak dalam bentuk lain. Mereka yang tidak melakukan itu tidak bisa memperoleh program apapun yang terkait dengan pendanaan APBN, misalnya fasilitas BPJS Kesehatan. Mereka yang tidak melakukan itu dilarang untuk menggunakan infrastruktur atau fasilitas umum yang disubsidi negara, misalnya jalan negara, pelabuhan laut dan udara, dan sebagainya. Pada saat ini sudah ada ISO 37001 - Anti Bribery Management System. Dengan menggabungkan seritifikasi ini dengan Good-Governance based audit, praktis upaya ini bisa menghasilkan sesuatu yang konkret di lapangan untuk mencegah dan memberantas korupsi.

 

Ketiga, kita tahu bahwa banyak kasus korupsi yang terungkap karena informasi orang dalam melalui sistem whisteblowing (WBS). Hal ini terbukti bukan hanya untuk mengungkap korupsi di birokrasi pemerintah dan lembaga-lembaga negara, tetapi juga penyuapan atau tindak korupsi di sektor swasta. Kehandalan sistem WBS itu sendiri utamanya dari segi IT, kepercayaan masyarakat atas sistem tersebut, cara penanganan dengan melindungi identitas pelapor, dan sistem imbalan yang kadang diberikan kepada pelapor merupakan faktor-faktor penting dari kesuksesan WBS.

 

WBS bisa juga dibentuk di luar sistem (pemerintah, lembaga negara dan perusahaan swasta), tetapi juga bisa dikelola oleh organisasi masyarakat sipil. Dengan begitu berlimpahnya informasi yang bisa diakses melalui berbagai media dan sumber orang dalam, rasanya alternatif ini yang didukung oleh masyarakat sipil bisa menjadi salah satu cara partisipasi efektif masyarakat untuk keluar dari situasi sekarang ini.

 

Proses demokrasi yang baru saja berlangsung, yaitu pilpres, pileg, dan pembentukan kabinet baru, seharusnya menjadi suatu tonggak baru untuk menjalankan proses demokratisasi yang lebih efektif. Proses demokratisasi yang lebih efektif dalam setiap sistem kenegaraan manapun diharapkan dapat mencegah dan memberantas korupsi.  Apa yang terjadi sekarang adalah suatu set back, kemunduran dari upaya reformasi sejak 1998. Tidak saja bahwa reformasi dikorupsi, demokrasi kitapun dikorupsi. Masyarakat sipil perlu dipanggil kembali untuk melakukan semua cara demokratis untuk membalikkan keadaan ini. Semoga kita belum terlalu lelah.

 

Hari Soempah Pemuda 2019

Tags:

Berita Terkait