Dengan atau Tanpa Persetujuan dalam Konteks Hak Perempuan Bebas-Merdeka
Kolom

Dengan atau Tanpa Persetujuan dalam Konteks Hak Perempuan Bebas-Merdeka

Kesederajatan di mata hukum dan pemerintahan mengenai perempuan-laki tidaklah mudah.

Bacaan 6 Menit

Pandangan tentang kedudukan perempuan dan anak juga tekait erat dengan pembagian peran dalam kehidupan domestik. Pengurusan dan pengelolaan urusan domestik (rumah tangga), di mulai dari menjadi “wadah” bagi “bibit” para pria (suami) dalam konteks meneruskan garis keturunan lelaki, mengurus dan merawat anak sampai dengan urusan dapur sepenuhnya adalah tugas istri-perempuan.

Itu pun kemudian dikontruksikan sebagai tugas suci-mulia (demi kemuliaan dan kehormatan keluarga) atau dilegitimasi sebagai kodrat ataupun kewajiban hukum. Itu juga berarti nilai-harga perempuan dalam ikatan perkawinan bisa mengalami kenaikan atau penurunan tergantung sejauh mana ia dapat memenuhi kodratnya, atau menjalankan kewajiban utama, terutama untuk meneruskan garis keturunan kepala keluarga.

Pemosisian demikian juga berkelindan dengan pandangan masyarakat umum perihal kontras-diametral dan stereotyping pria dan perempuan. Laki sebagai (calon) pimpinan keluarga sudah seharusnya kuat, berani, tegas, tidak cengeng (semua sifat maskulin) dan perempuan sebagai calon ibu harus penyayang, penyabar, lemah-lembut, penurut (semua sifat feminine) dan sebab itu wajib dilindungi bahkan dari dirinya sendiri. Kewajiban yang dibebankan pada kepala keluarga dan semua saudara laki-laki dari perempuan itu, sampai hal itu bisa diserahterimakan pada suami dan/atau keluarga pihak suami.

Berjuang untuk Kesetaraan Perempuan atau Kebebasan untuk Menjadi Manusia?

Mengubah pandangan di atas dengan menyatakan perlu-pentingnya kesederajatan di mata hukum dan pemerintahan mengenai perempuan-laki tidaklah mudah. Kisah R.A. Kartini dan lainnya untuk “memperjuangkan” pengakuan akan harkat sebagai manusia – tidak serta merta sama dengan pria - jelas berbenturan dengan pandangan “masyarakat” yang sudah mengakar tentang tempat perempuan yang seharusnya dalam keluarga dan masyarakat.

Bahkan Hukum Keluarga di Indonesia masih mengukuhkan ‘kodrat’ dan ‘posisi perempuan’ di bawah kepala keluarga. Beranjak dari pemosisian ini pula kita dapat memahami keberatan keras yang diajukan terhadap pandangan mungkinnya seorang istri mengalami perkosaan oleh suami. Bukankah seorang istri yang sudah menyerahkan sepenuhnya tubuh dan jiwanya pada suami dalam ikatan perkawinan harus siap sedia melayani dan memberikan pada suami apa yang dianggap hak utamanya?

Kiranya dapat ditelisik bahwa di balik keberatan ini adalah persoalan seberapa jauh seorang perempuan (dalam status sebagai istri atau lajang) berwenang menentukan kapan-bagaimana akan – dengan pilihan diksi yang aneh – “menyerahkan” tubuh (dan mungkin sekaligus dengan itu) jiwanya pada seorang pria atau seorang lain sesuai pilihan bebasnya.

Pada satu sisi, perdebatan tentang hal ini akan bersentuhan dengan konsep pergendakan-zina dalam KUHPidana atau zina dalam hukum Islam. Keduanya, sebagai hominim, sebenarnya dilandaskan pada pandangan yang jauh berbeda.

Tags:

Berita Terkait