Dengan atau Tanpa Persetujuan dalam Konteks Hak Perempuan Bebas-Merdeka
Kolom

Dengan atau Tanpa Persetujuan dalam Konteks Hak Perempuan Bebas-Merdeka

Kesederajatan di mata hukum dan pemerintahan mengenai perempuan-laki tidaklah mudah.

Bacaan 6 Menit

KUHPidana yang melarang perzinahan-pergendakan harus dibaca dalam konteks janji nikah antara suami-istri untuk bersetia satu sama lain. Sedangkan zina dalam hukum Islam menyasar hampir semua perbuatan berkonotasi seksual di antara perempuan-laki di luar hubungan perkawinan atau kadang secara khusus pada hubungan seksual di luar nikah yang sertamerta dipandang mala in se.

Pada lain pihak, dan jauh lebih mendalam, hal ini terkait dengan ihwal seberapa jauh “kebebasan memilih” di atas akan dipercayakan dan diserahkan pada perempuan yang juga sedianya dianggap berkuasa penuh atas ketubuhan dan seksualitasnya – terimplikasikan pada frasa dengan/tanpa persetujuan, untuk melakukan banyak hal yang terkait dengan relasi pria-perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Maka, bahkan, perbuatan sederhana seperti menyentuh tangan atau mengelus rambut seorang perempuan bisa dibayangkan dapat berubah menjadi ancaman, dan sebab itu melawan hukum, bilamana dilakukan tanpa persetujuan yang bersangkutan.

Ini juga akan memaksakan perubahan sikap pada pria yang tidak lagi dapat mengasumsikan banyak hal tentang perempuan dan tubuh mereka. Misalnya, mereka yang diam berarti setuju atau mereka yang agresif otomatis dapat dipandang nakal dan murahan dan sebab itu layak – tanpa takut adanya tuntutan pertanggungjawaban hukum – diperlakukan semena-mena.

Kata Akhir

Frasa persetujuan atau tanpa persetujuan yang diperdebatkan dengan sungguh-sungguh sejatinya mengimplikasikan pertama kesederajatan para pihak dan dengan itu pula adanya kecakapan dan kemampuan para pihak untuk menyadari-memahami konsekuensi persetujuan atau ketidaksetujuan. Ini kiranya serupa dengan doktrin yang melandasi keabsahan perjanjian dalam hukum perikatan atau kebebasan berkontrak.

Pemahaman seperti ini tentu jauh panggang dari api dengan konstruksi argumen bahwa memberikan kebebasan dan pilihan pada perempuan, terutama dalam konteks bagaimana ia hendak diperlakukan oleh pria di sekelilingnya, serta merta berarti melegalkan semua bentuk pelecehan-kekerasan seksual.

*)Tristam Pascal Moeliono, Dosen Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung.

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Fakultas Hukum Universitas Parahyangan dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait