Memasuki era industri 4.0, beragam produk Artificial Intelligence (AI) mulai bermunculan. Adanya robot hukum dengan daya analisis tercanggih, tingkat akurasi tinggi hingga mampu menyelesaikan pekerjaan hanya dalam hitungan detik menjadi sebuah pertanyaan, akankah kecanggihan arus teknologi industri 4.0 ini mematikan peran lawyer di masa depan?
Ketimbang memposisikan kecepatan AI sebagai ancaman, lawyer pada firma hukum AYMP Atelier of Law, Ibrahim Senen, justru memandangnya sebagai peluang untuk membuat pekerjaan lawyering lebih efisien. Menurutnya, penyelesaian pekerjaan bisa dilakukan secara kombinasi.
Untuk persoalan yang bisa diselesaikan dengan teknologi bisa diselesaikan dengan teknologi. Sehingga sisa waktu lainnya bisa di-spend untuk meningkatkan soft skill, belajar kembali (relearn), melakukan pekerjaan yang sifatnya human touch (hanya manusia yang bisa melakukannya), bahkan akan ada waktu yang cukup juga untuk balancing life.
“Untuk menjadi lawyer hebat memang kita harus kerja cerdas, yakni dengan meng-combine teknologi yang ada saat ini dengan kemampuan yang ia miliki, sehingga tak ada lagi alasan saya kerja keras menjadi lawyer, jadi saya pulang malam,” kata Ibrahim dalam talk showinspiratif bertema “Profesi Hukum untuk Generasi Milenial di Era Industry 4.0”, di Jakarta, Kamis (15/11).
Bisa dibayangkan, kata Ibrahim, lawyer butuh waktu sekitar 160 menit untuk me-review 5 dokumen Non-Disclosure Agreements (NDAs). Bila ia mengkombinasikan pekerjaannya dengan teknologi maka dia akan memiliki banyak waktu untuk belajar. Lawyer juga bisa memperdalam pengetahuan khususnya untuk ilmu-ilmu dasar, sehingga pondasi rumah keilmuan yang dimiliki dapat berdiri kokoh.
“Di era industri 4.0 ini, nantinya bukan lagi lawyer yang pulangnya pagi yang hebat. Kalau masuk pagi dan pulangnya pagi, kapan punya hidup? Yang ada mati cepat, bukan cepat menjadi partner,” tukas Ibrahim.
(Baca: Disrupsi Teknologi, Masa Depan Lawyer Indonesia Masih Cerah)
Sekadar informasi, Lawgeek sebuah perusahaan pengembang AI di Amerika Serikat telah mengadakan adu kemampuan AI buatannya yang berhadapan dengan sebanyak 20 Top US Lawyer dari firma hukum ternama AS, seperti K & L Gates, Goldman Sachs, Alston & Bird dan Cisco.
Alhasil, 20 top US lawyer yang terdiri dari associate, in-house, praktisi tunggaldan general counsel ini, hanya bisa menyelesaikan review 5 dokumen NDAs dengan kecepatan rata-rata selama 92 menit dengan daya akurasi rata-rata 85 persen.
Adapun Performa terbaik lawyer (manusia) memakan waktu 51 menit dengan daya akurasi 94 persen, dan untuk performa terburuk memiliki daya akurasi 67 persen. Berbanding jauh dengan AI buatan Lawgeek, yang hanya memerlukan waktu 26 detik dengan daya akurasi 94 persen untuk me-review 5 dokumen NDAs.
Bahkan saat ini di US, selain Lawgeek juga telah ada satu website ‘Ross Intelligence’ yang mengklaim dirinya sebagai lawyer AI terhebat di dunia. Hanya dengan spend money beberapa dolar per bulan, orang akan mendapatkan asisten hukum dari robot yang mampu melakukan riset dan analisis cepat dengan tingkat akurasi hingga 97 persen.
Lawyer lainnya, Surya Setya Mulya, memandang bahwa hal-hal yang bersifat repetitive (pengulangan)dan mengandalkan data base memang pasti akan bisa dengan mudah dimakan dan tergantikan oleh AI. Tak bisa dipungkiri, katanya, bahkan di era revolusi industri 4.0 ada kompetisi yang begitu sengit antara manusia dengan mesin.
Akhirnya, kata Surya, yang tersisa untuk lawyer adalah soft skill untuk melakukan decision making dan itupun bukan decision making yang mengandalkan databased. Untuk mengembangkan kemampuan dalam melakukan decision making itu, tips yang bisa dibagikan Surya adalah mengenali betul seluk beluk industri yang dijalankan klien. Sehingga setiap keputusan hukum yang akan diambil seorang lawyer dapat diperoleh melalui pertimbangan yang betul-betul matang.
Harus selalu diantisipasi
Surya beranggapan bahwa kecerdasan teknologi memang akan selalu berkembang cepat. Saat kelulusannya dari FHUI pada 1997, ia mengingat sudah terlahir mesin AI yang mampu mengalahkan manusia dalam perlombaan catur. Di tahun-tahun berikutnya selalu berkembang dan ada penemuan baru. Bahkan di 2017, google juga berhasil menciptakan sistem komputer yang mampu mempelajari pengetahuan manusia dalam waktu beberapa jam saja.
“Jadi kompetisi di era industri 4.0 antara kita dengan mesin itu benar-benar nyata, hal-hal yang sifatnya repetitive dan megandalkan data base sudah pasti mudah tergantikan oleh AI,” kata Surya.
General counsel pada perusahaan asal Prancis Total E&P Indonesia, Indri Krisnavari, mengungkapkan ada beberapa peran in house lawyer yang tak akan bisa tergantikan oleh AI, salah satunya tuntutan in house untuk bekerja dengan pola pikir yang sadar biaya untuk saving cost dan beradaptasi dengan standar yang tinggi.
Kreatifitas menjadi kunci utama peran in house yang tak akan bisa tergantikan AI karena in house tak hanya dituntut mempunyai kemampuan di bidang hukum, tetapi juga dituntut untuk selalu menghasilkan inovasi baru dengan basis non-teknologi.
“Bahkan Total mengkompetisikan inovasi baru yang ditemukan oleh karyawan Total di seluruh dunia,” ungkap Indri.
Indri mencontohkan, di satu blok migas Mahakam, ada sekitar 6 ribu izin yang harus selesai, sehingga di compliance Total mempunyai inovasi untuk melakukan storage data sehingga dapat terlihat dengan mudah izin apa saja yang harus diperpanjang dan diperbaharui.
Sedangkan contoh lain untuk inovasi dengan basis non-teknologi, seperti misalnya inovasi solusi untuk bisa saving cost setiap tahunnya. Salah satu contohnya yakni bagaimana memberikan training kepada karyawan tanpa keluar uang? Itu bisa dilakukan, misalnya dengan melakukan kerjasama melakukan short programe dengan perusahaan lain.
Psikolog Vera Itabiliana mengungkapkan memang ada skill tertentu yang akan sulit tergantikan oleh robot, ia menjabarkan skill tersebut seperti critical thinking (skill berpikir kritis), daya Imajinasi yang luas tak berbatas, problem solving (skill menyelesaikan masalah), decision making (skill membuat keputusan), skill berkomunikasi, self-esteem, emotional intelligence, team-work, empati dan bertoleransi.
“Hal-hal ini tak bisa di copy oleh mesin, karena ini keunggulan kita sebagai manusia. Skill itulah yang harus diperkuat dalam menghadapi kompetisi manusia dengan teknologi,” kata Vera.