Di Praperadilan, HRS Permasalahkan Pasal Penghasutan
Utama

Di Praperadilan, HRS Permasalahkan Pasal Penghasutan

Mengutip putusan MK, penghasutan adalah delik materiil, bukan delik formil.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 6 Menit

Bahwa pengenaan Pasal 160 KUHP sebagai delik materiil terhadap pemohon haruslah pula disandarkan pada bukti atau alat bukti materiil, yang menyatakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana yang sudah diputus oleh pengadilan dan telah berkuatan tetap, sebagai akibat yang dihasilkan oleh adanya suatu hasutan.

“Bahwa dengan ini kami juga men-someer Termohon I agar menghadirkan bukti-bukti materiil tersebut dalam pembuktian sidang praperadilan a quo. Bahwa kami juga men-someer Termohon untuk menghadirkan BAP atas saksisaksi yang menyatakan dirinya telah terhasut oleh Pemohon,” terangnya.

Tim mempertanyakan masuknya Pasal 160 KUHP pada penyidikan. Sebab pada prinsipnya esensi dari perbuatan menghasut adalah usaha untuk menggerakan orang lain supaya melakukan perbuatan tertentu yang dikehendaki oleh penghasut dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang dilarang. Sebelumnya, pada tahap penyelidikan Pasal 160 KUHP tidak ada.

“Di sini dipertanyakan perbuatan tertentu apa yang dimaksudkan? Jika penyidik mengkaitkannya dengan Pasal 9 Ayat (1) Jo Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan Pasal 216 KUHP, maka tidak pada tempatnya. Tidak ada persintuhan atau tidak ada keterhubungan antara Pasal 160 KUHP dengan Pasal 9 Ayat (1) Jo Pasal 93 Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan dan Pasal 216 KUHP,” pungkasnya.

Tidak dapat dipidana

Sementara terkait Pasal 93 jo Pasal 9 UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan menurut tim juga salah jika disangkakan kepada kliennya, karena selain tidak ada penetapan karantina wilayah, juga tidak ada penetapan kedaruratan kesehatan dalam hal ini Karantina Wilayah dan PSBB yang diumumkan oleh pemerintah pusat cq menteri kesehatan yang diakibatkan oleh perbuatan Pemohon, sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 49 ayat (3) UU No. 6 Tahun 2018 Kekarantinaan Kesehatan: “Karantina Wilayah dan Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.”

“Bahwa kalaupun ada penetapan PSBB, itu bukan disebabkan oleh Pemohon ataupun peristiwa pernikahan anak pemohon, ataupun acara maulid Nabi Muhammad SAW di Petamburan, atau sudah ditetapkan sebelumnya, sehingga tidak ada satupun bukti yang menunjukan bahwa perbuatan pemohon telah mengakibatkan kedaruratan kesehatan yang diikuti oleh penetapan kedaruratan kesehatan dari pemerintah pusat dhi Menteri kesehatan,” ujarnya.

Tim mengutip pernyataan sejumlah ahli hukum berkaitan dengan hal ini. Pertama, Yusril Ihza Mahendra, tidak ada pidana terhadap PSBB. ”Kalau kita mengacu pada UU tentang Wabah Penyakit, ada sanksi pidananya. Tapi yang diterapkan oleh pemerintah bukan itu sekarang. Yang diterapkan itu UU tentang Kekarantinaan Kesehatan itu yang dijadikan sebagai acuan diterbitkan PP mengenai PSBB. Jadi tidak mengacu pada UU Kesehatan maupun UU Wabah Penyakit, Kalau kita baca UU Kekarantinaan Kesehatan, sanksi-sanksi pidana itu sama sekali tidak ada dalam PSBB. Polisi itu baru bisa dilibatkan apabila pemerintah melakukan karantina wilayah. Lalu disitu ada kewenangan untuk bertindak.” (Sumber: Liputan 6.com, 12 April 2020, diakses pada tanggal 14 Desember 2020 pukul 02.00 WIB);

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait