Di Praperadilan, HRS Permasalahkan Pasal Penghasutan
Utama

Di Praperadilan, HRS Permasalahkan Pasal Penghasutan

Mengutip putusan MK, penghasutan adalah delik materiil, bukan delik formil.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 6 Menit

Kemudian ahli hukum, Abdul Chair Ramadhan, mengatakan, sistem penanganan pandemi covid-19 yang diterapkan oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah adalah pembatasan sosial berskala besar (PSBB), bukan sistem karantina wilayah. Dasar hukum keberlakuannya menunjuk pada peraturan pemerintah No.21/2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Dia melanjutkan, keberlakuan PSBB menunjuk pada Undang-Undang Nomor 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Adapun Undang-Undang Nomor 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan tidak menyebutkan norma hukum larangan dan sanksi pidana PSBB. Dengan demikian, proses penyelidikan yang dilakukan oleh Kepolisian Republik Indonesia terhadap acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dan pernikahan putri Imam Besar Habib Rizieq Shihab harus dinyatakan bukan peristiwa atau perbuatan pidana.” (Sumber: Kompas TV, 19 November 2020, diakses diakses pada tanggal 14 Desember 2020 pukul 02.05 WIB):

Pakar hukum tata negara dan pemerintahan Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung, Asep Warlan Yusuf menegaskan, pelanggaran kebijakan PSBB tidak bisa dipidana: “Sanksi paling tinggi pelanggar PSBB itu denda untuk perseorangan dan pencabutan izin usaha bagi perusahaan. Jadi kasus kerumunan massa Habib Rizieq tidak bisa dipidana. Dalam konteks UU No. 6/2018 memang ada pidananya dengan catatan menimbulkan wabah yang meluas, tidak terkendali. Kata menimbulkan itu pun butuh pembuktian. Tapi sekali lagi, dalam konteks Habib Rizieq Shihab, aturan yang digunakan bukan UU Kekarantinaan Kesehatan, melainkan Pergub, Publik sudah geram melihat pemerintah dan polisi menangani Habib Rizieq, apalagi polisi terus-terusan memakai pasal-pasal pidana kepada Habib Rizieq. Publik pun akhirnya menilai pemerintah dan polisi sedang mempolitisasi hukum, sehingga kesan yang kini terbangun bahwa pemerintah dan polisi tidak adil.” (Sumber: Sindonews.com, Minggu 13 Desember 2020, diakses pada tanggal 14 Desember 2020 pukul 02.10 WIB);

Pengamat hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hajar, menilai UU 6/2018 bisa diterapkan apabila Indonesia memilih menerapkan karantina wilayah atau lockdown. Padahal Indonesia memilih PSBB, bukan lockdown. Menurut Fickar, aturan PSBB tersebut berbeda dengan UU 6/2018. Dalam aturan tersebut, pelanggar UU bisa dijerat hukuman pidana satu tahun penjara dan denda Rp100juta.

“Tindak pidana yang diatur dalam UU Karantina Kesehatan ditunjukan pada pelanggaran terhadap penetapan karantina wilayah, sehingga subjek hukum pidananya adalah nahkoda kapal (pasal 90), pilot (Pasal 91), sopir angkutan (Pasal 92), perusahaan pengangkutan dan orang yang menghalangi karantina wilayah (Pasal 93) dihukum 1 (satu) tahun dengan denda Rp100juta. Kesemuanya itu adalah dalam pelanggaran karantina.” (Sumber: inews.id, Sabtu 12 Desember 2020, diakses pada tanggal 14 Desember 2020, pukul 02.15 WIB):

Dengan demikian, menurut tim tidak ada delik dalam PSBB, tidak ada delik dalam Protokol Kesehatan termasuk tetapi tetapi tidak terbatas kerumunan dan yang lainnya. Dengan tidak adanya tidak pidana asal (predicate crime), maka keberlakuan Pasal 160 KUHP juga telah kehilangan objeknya. Dalam delik penghasutan ada dua subjek delik, yaitu orang yang melakukan penghasutan dan orang yang dihasut. Dapat dikatakan delik a quo adalah berpasangan.

“Bahwa berdasarkan uraian di atas sudah sepatutnya hakim praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk menyatakan Surat Perintah Penyidikan Nomor: SP.Sidik/4604/XI/2020/Ditreskrimum tanggal 26 November 2020, dan Surat Perintah Penyidikan Nomor : SP.Sidik/4735/XII/2020/Ditreskrimum tanggal 9 Desember 2020 adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum, dan oleh karenanya penetapan a quo tidak mempunyai kekuatan mengikat,” jelasnya.

Tags:

Berita Terkait