Dianggap Melanggar Perjanjian Penugasan Studi Doktoral, SKK Migas Digugat Pegawainya
Berita

Dianggap Melanggar Perjanjian Penugasan Studi Doktoral, SKK Migas Digugat Pegawainya

Meminta PHK dan kompensasi Rp1,5 miliar.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 5 Menit

Padahal pembayaran yang diberikan SKK Migas kepada Penggugat selama periode penugasan hanya sebatas upah, tunjangan tetap, dan benefit kesehatan sesuai standar di Jakarta. Dan selama penugasan di Jerman SKK Migas masih tetap menugaskan Penggugat untuk melaksanakan pekerjaan dari Jakarta di luar Perjanjian Penugasan. Oleh karena selama di Jerman Penggugat masih mengerjaan pekerjaan/tugas yang dikirimkan oleh atasannya dari Indonesia.

Maka dalam hal ini Penggugat telah melaksanakan 2 pekerjaan, yaitu penugasan studi doktoral di Jerman dan pekerjaan yang dikirimkan Tergugat dari Jakarta di luar Penugasan. (Baca: Beleid Baru Terbit, Kontrak Migas Tak Lagi Wajib Gross Split)

“Bahwa sekalipun demikian, pembayaran yang dilakukan oleh Tergugat tetap hanya 1 kali, dengan demikian, tindakan Tergugat yang hanya membayarkan upah Penggugat 1 kali atas penugasan ganda (double job) dan pelanggaran perjanjian serta masih ingin mengenakan penalti kepada Penggugat adalah sungguh tindakan yang amat memalukan serta tidak berkeprimanusiaan khususnya mengingat Tergugat merupakan salah satu lembaga pemerintah,” tulis gugatan tersebut.

Tidak dapat cuti

Pada tahun 2017, Penggugat pernah mengalami kecelakaan sehingga mengalami fraktur menyeluruh (Komplette Unterarmschaftfraktur) pada tangan kiri tulang radialis dan ulnaris serta harus menjalani operasi pemasangan plat (Plattenosteosynthese) di Jerman. Sehubungan dengan kecelakaan tersebut, seharusnya Penggugat dijadwalkan untuk kembali melakukan operasi pelepasan plat pada tanggal 28 April 2020.

Saat itu, Penggugat meminta izin untuk kembali ke Jakarta dengan tetap menggunakan jatah cuti dan bukan sekedar izin sakit. Namun SKK Migas melalui salah satu pejabatnya sempat melarang Penggugat untuk kembali sehingga mengakibatkan Penggugat terlambat didiagnosis atas kelumpuhan sementara (neuropraxia disorder) dan mengalami kontraktrur akibat keterlambatan tersebut.

“Pada bulan Maret 2020, Penggugat terpaksa harus kembali ke Indonesia dikarenakan Tergugat memberikan ancaman berupa rincian penghitungan penalti apabila Penggugat tetap menyelesaiakan studinya di Jerman sehingga mengakibatkan penundaan operasi pelepasan plat,” tulis gugatan itu.

Adapun operasi pelepasan plat akhirnya baru dapat dilaksanakan pada tanggal 5 Januari 2021 atau 9 bulan terlambat dari jadwal yang diharuskan oleh rumah sakit. Perlu diketahui bahwa menurut tim dokter di Jerman, penundaan operasi pelepasan plat yang disebabkan oleh tindakan semena-mena dan tidak bertanggung jawab SDM Tergugat, sungguh berbahaya oleh karena plat sudah terlalu lama terpasang dengan kuat pada ruas tulang yang beresiko mengakibatkan terjadinya kembali kelumpuhan saraf sementara.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait