Dibahas Dua Periode, Akhirnya RUU Perlindungan Pekerja Migran Disetujui
Berita

Dibahas Dua Periode, Akhirnya RUU Perlindungan Pekerja Migran Disetujui

Mencabut UU No. 39 Tahun 2004.

Oleh:
Ady TD Achmad/RFQ
Bacaan 2 Menit

 

Perempuan yang disapa Nisaa itu mengatakan pekerja migran sektor domestik sangat rentan mengalami kekerasan dan pelanggaran HAM. Apalagi mayoritas pekerja migran Indonesia yang bekerja di sektor domestik kebanyakan perempuan. Mereka harusnya menjadi subjek yang dilindungi pemerintah, bukan mengalihkan perlindungan itu kepada swasta.

 

“Mewajibkan pekerja migran sektor domestik untuk mendaftar melalui PPTKIS/PJTKI akan menciptakan ketergantungan perempuan terhadap pihak swasta, sehingga mereka terus dalam posisi rentan dan tereksploitasi,” katanya dalam keterangan pers yang diterima, Rabu (25/10).

 

Nisaa berpendapat pemerintah luput memperhatikan nasib pekerja migran yang banyak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Terbukti dari absennya sinkronisasi antara RUU PPMI dengan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

 

RUU PPMI mengamanatkan pemerintah untuk menempatkan pekerja migran ke negara yang memiliki peraturan ketenagakerjaan dan perjanjian bilateral dengan Indonesia. Selama ini masih ditemukan penempatan ke negara yang belum memiliki perjanjian bilateral atau MoU dengan Indonesia. Ke depan Pemerintah harus tegas dan berani menentukan substansi yang diatur dalam perjanjian bilateral sehingga mampu memberi perlindungan terhadap pekerja migran.

 

Konvensi menyebut negara pengirim dan penerima pekerja migran dapat melakukan perjanjian kerjasama untuk mereduksi dan menangani pekerja migran tidak berdokumen lengkap, lazim disebut ireguler. Termasuk mengatur jaminan sosial bagi pekerja migran dan anggota keluarganya.

 

(Baca juga: Lindungi Buruh Migran, ASEAN Butuh Instrumen Hukum yang Mengikat).

 

Program Associate ASEAN Advocacy HRWG, Wike Devi Permatasari, menekankan pentingnya penguatan Atase Ketenagakerjaan sebagai bentuk perlindungan untuk pekerja migran. Pemilihan Atase Ketenagakerjaan harus berdasarkan kompetensi. Bukan pangkat atau golongan pejabat publik. Penguatan kapasitas dan fungsi Atase Ketenagakerjaan sangat penting karena dia bertanggungjawab mendata, verifikasi, memfasilitasi, dan menangani masalah ketenagakerjaan di negara tujuan.

 

Penguatan serupa, kata Wike, perlu dilakukan untuk staf perwakilan Indonesia di luar negeri. “Kami memandang perlu adanya mekanisme evaluasi terbuka yang melibatkan masyarakat sipil dan pekerja migran terkait kinerja, pelayanan, dan perlindungan yang diberikan staf perwakilan RI di luar negeri,” urainya.

Tags:

Berita Terkait