Dihapuskan satuan pendidikan madrasah dalam Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) masih menuai kritikan. Ketua Komisi VIII DPR Yandri Susanto angkat bicara meminta Sebagai komisi DPR yang membidangi agama, Yandri mendesak agar kata “madrasah” kembali dicantumkan dalam draf RUU Sisdiknas sebagai satuan pendidikan nasional di Indonesia.
Dia mengingatkan madrasah menjadi lembaga pendidikan yang memiliki sejarah panjang, bahkan tak terpisahkan dari sistem pendidikan di tanah air sebelum era kemerdekaan. “Jadi tidak ada alasan memisahkan madrasah dari RUU Sisdiknas,” ujarnya melalui keterangan tertulis, Kamis (29/3/2022).
Baca:
- Penghapusan ‘Madrasah’ dalam RUU Sisdiknas Menuai Kritik
- Pemerintah Berharap RUU Sisdiknas Masuk dalam Prolegnas 2022
- Perhimpunan Pendidikan dan Guru Beberkan Kelemahan Substansi RUU Sisdiknas
Dirinya menegaskan partai tempatnya bernaung, Partai Amanat Nasional (PAN), dipastikan bakal menolak penuh keberadaan RUU Sisdiknas tanpa madrasah. Alih-alih menghapus, semestinya pemerintah menguatkan peran madrasah melalui RUU Sisdiknas sebagai satuan pendidikan yang mengelaborasi pendidikan diniyah dan sains.
Apalagi di masyarakat sudah banyak madrasah unggulan yang memiliki prestasi melampaui sekolah umum. Dia menyarankan agar penyusunan RUU di tingkat pemerintah melibatkan partisipasi organisasi keagamaan, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) secara terbuka.
Anggota Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Hilmy Muhammad mengatakan Kemendibudristek agar memperjelas tujuan penghapusan Madrasah agar tidak menimbulkan polemik di masyarakat. Sebab, masyarakat saat ini menafsirkan negatif penghapusan tersebut. Apalagi semangatnya reunifikasi dua badan penyelenggara pendidikan dalam kerangka penyetaraan perlakuan pembinaan dan penganggaran.
Pria yang juga anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat itu berpendapat madrasah sebagai lembaga pendidikan yang kelulusannya dianggap setara dengan SD. Tapi praktiknya, perlakuannya masih terasa seperti dianaktirikan dalam hal pembinaan, penganggaran maupun peluang melanjutkan ke perguruan tinggi. Namun, bila semangat meninggalkan madrasah semakin terbelakang, menjadi tidak adil.