Dilema Anak Berhadapan Hukum dengan Penerapan UU SPPA
Hari Anak Nasional

Dilema Anak Berhadapan Hukum dengan Penerapan UU SPPA

Dari tahun 2011 hingga sekarang, Anak Berhadapan Hukum dominasi laporan yang masuk ke KPAI.

Oleh:
FAT/M25
Bacaan 2 Menit
Beberapa bocah Luar Batang mengumpulkan barang-barang dari kumpulan sampah pasca penggusuran. Foto: RES
Beberapa bocah Luar Batang mengumpulkan barang-barang dari kumpulan sampah pasca penggusuran. Foto: RES
Masih ingat kasus pencurian sandal jepit yang dilakukan seorang bocah di Palu, Sulawesi Tengah, beberapa tahun silam? Bahkan akibat perbuatannya itu, anak tersebut ‘diseret’ ke persidangan. Iya, kasus yang mencuri perhatian publik itu memotret bahwa masalah anak yang berhadapan dengan hukum masih menghiasi dunia hukum Indonesia.

Bahkan, dari data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dari tahun 2011 hingga sekarang, Anak Berhadapan Hukum (ABH) berada di posisi puncak data anak terjerat masalah hukum. Menyingkirkan masalah-masalah lain yang kerap terjadi pada anak. Tak tanggung-tanggung, ribuan anak tercatat masuk sebagai ABH.

Dari tabulasi bank data kasus perlindungan anak yang dimiliki KPAI, dari tahun 2011 hingga 2016 sebanyak 7.132 ABH. Terpampang, dari tahun 2011 hingga 2014, data anak yang tersangkut masalah hukum bak sebagai pelaku, korban maupun saksi terus menanjak. Namun pada tahun 2015 dan 2016, angkanya menurun.

Jenis ABH ini masih dibagi tiga, yakni ABH sebagai pelaku, ABH sebagai korban dan ABH sebagai saksi. Mirisnya, ABH sebagai korban lebih banyak dari dua jenis ABH yang lain. Rinciannya, ABH sebagai korban sebanyak 4.086 pengaduan, ABH sebagai pelaku sebanyak 3.010 dan ABH sebagai saksi 36 laporan.

Hukumonline.com
Sumber: KPAI

Posisi kedua anak yang terseret masalah menyangkut kasus keluarga dan pengasuhan alternatif yakni sebanyak 3.875 laporan. Berikutnya sektor pendidikan sebanyak 2.252 laporan kasus. Kemudian, kesehatan dan napza sebanyak 1.706 kasus. Lalu, pornografi dan cyber crime sebanyak 1.462 kasus.

Posisi berikutnya adalah trafficking dan eksploitasi sebanyak 1.158 kasus. Lalu, sektor agama dan budaya, sebanyak 832 kasus anak. Di bawahnya adalah sektor sosial dan anak dalam situasi darurat yakni sebanyak 806 kasus. Data anak sebagai korban kelalaian orang tua atau lingkungan sebanyak 439 kasus. Dan terakhir terkait hak sipil dan partisipasi sebanyak 359 kasus.

Anggota KPAI Maria Ulfah Anshor menilai, tren meningkatnya kasus yang melibatkan anak karena laporan atau pengaduan masuk ke KPAI setiap tahun terus bertambah. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat kesadaran masyarakat terhadap perlindungan anak terus meningkat.

“Sehingga, kalau ada anak yang kena kekerasan, mereka melapor,” tutur Maria kepada hukumonline, Kamis (22/7).

Biasanya, lanjut Maria, dari laporan yang masuk akan diteruskan KPAI ke aparat penegak hukum. Jika terkait pelanggaran hukum yang menyangkut pidana, laporan itu akan diberi ke Kepolisian. Namun jika persoalan yang melilit anak itu masih ringan, bisa dilakukan mediasi dengan fasilitator KPAI.
NoJenisJumlah
1 Anak Berhadapan Hukum 7.132
2 Keluarga dan Pengasuhan Alternatif 3.875
3 Pendidikan 2.252
4 Kesehatan dan Napza 1.706
5 Pornografi dan Cyber Crime 1.462
6 Trafficking dan Eksploitasi 1.158
7 Agama dan Budaya 832
8 Sosial dan Anak dalam Situasi Darurat 806
9 Hak Sipil dan Partisipasi 359
Sumber: KPAI

Sayangnya, lanjut Maria, UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) belum sepenuhnya diterapkan. Bahkan, terdapat aturan turunan pelaksana dari UU itu yang belum disiapkan, termasuk mengenai infrastruktur. Hal ini menjadi dilema bagi anak yang berhadapan dengan hukum.

Ia menilai, gara-gara penerapan UU SPPA yang masih tersendat ini membuat kasus hukum yang menyeret anak belum maksimal. “Contohnya tentang pendamping hukum,itu seharusnya setiap kabupaten pengadilan kanada pendamping hukum bagi korban,” ujar Maria.

Hal lain yang perlu segera diterapkan dari UU SPPA adalah rehabilitasi bagi anak di bawah 12 tahun yang melakukan tindak pidana.Hingga kini masih ada daerah yang belum memiliki tempat rehabilitasi.“TentangLPKS (Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial)itu belum semua belum memiliki ini di daerah-daerah,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait