Dilema ‘Wakil Tuhan’ sebagai Pejabat Negara
Mengurai Status Hakim:

Dilema ‘Wakil Tuhan’ sebagai Pejabat Negara

Pengesahan RUU Jabatan Hakim penting memastikan “jenis kelamin” jabatan hakim yang ideal, apakah tetap sebagai pejabat negara, pejabat negara tertentu (berstatus PNS), atau bisa disebut istilah jabatan lain yang lebih pas? Kepastian ini berpengaruh terhadap kesejahteraan dan jaminan perlindungan para hakim secara proporsional.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
  Hak keuangan lain selain gaji dan tunjangan jabatan, hakim juga berhak atas tunjangan keluarga, tunjangan beras, dan tunjangan kemahalan. Tunjangan kemahalan dihitung berdasarkan zona daerah. Zone I: Jawa sebesar Rp 0; Zone II: Sumatera, kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara sebesar Rp1,35 juta; Zona III: Papua, Irian Barat, Maluku, Toli-toli, Poso, Tarakan, Nunukan sebesar Rp2,4 juta; Zona IV: Bumi Halmahera, Wamena, Tahuna sebesar Rp10 juta.   Jadi, minimal seorang yang baru menjadi hakim dengan Gol IIIa dengan masa kerja 0 Tahun dengan penempatan daerah Sulawesi dapat diperkirakan: Gaji Pokok : Rp 2.064.100 Tunjangan Hakim : Rp 8.500.000 Tunjangan Beras: Rp 67.500 (10 Kg x Rp 6.750) Tunjangan Kemahalan : Rp 1.350.000 Tunjangan Kinerja : (dihapus) Total : Rp 11.981.600   Selain itu, dalam Pasal 5 ayat (2) PP Hak Keuangan Hakim ini, para hakim berhak menempati rumah negara (dinas) dan sarana transportasi (mobil dinas). Namun, apabila rumah dinas dan transportasi belum tersedia, para hakim dapat diberikan tunjangan perumahan dan transportasi sesuai kemampuan keuangan negara. Faktanya, belum semua hakim tingkat pertama dan hakim banding mendapatkan rumah dan kendaraan dinas dari negara.   Bahkan, belum lama ini, Pemkot Surabaya menarik 3 unit mobil dinas pimpinan PN Surabaya (Kelas IA) yakni Mitsubishi Pajero, Mitsubishi Pajero Dakkar, dan Isuzu Panther Turbo berdasarkan surat dengan No. 028/1919/436.3.2/2017 yang ditandatangani Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini tanggal 21 Maret 2017. Belakangan diketahui ketiga mobil tersebut merupakan pinjaman atau hibah.   Pemkot Surabaya beralasan kekurangan mobil operasional. Beberapa hari kemudian, Sekretaris MA Pudjo Achmad Setyo Pudjoharsoyo mengirimkan mobil dinas pengganti milik Ketua dan Wakil Ketua PN Surabaya itu. MA meminta agar Pemerintah Daerah (Pemda) tidak memberi hibah atau pinjaman apapun ke pengadilan karena berpotensi bersinggungan dengan netralitas pengadilan.   Beberapa tahun kemudian, April 2015 lalu, Forum Diskusi Hakim Indonesia (FDHI) melayangkan gugatan uji materi Pasal 3 ayat (2), Pasal 5 ayat (2), Pasal 11 PP No. 94 Tahun 2012 ke MA.  yang berisi kenaikan gaji dan tunjangan hakim ini dinilai telah mendegradasi kedudukan hakim sebagai pejabat negara. Pangkal persoalannya, struktur gaji, tunjangan, pensiun hakim masih mengikuti sistem PNS. Belum lagi, hak fasilitas perumahan dan transportasi dapat diberikan sesuai kemampuan keuangan negara, bukanlah kewajiban.     Pemohon mengakui sebenarnya satu sisi PP ini menguntungkan bagi para hakim, tetapi implementasinya justru menimbulkan masalah. Karena itu, Pemohon minta Pasal 3 ayat (2) PP No. 94 Tahun 2012 dihapus, kata “dapat” dalam Pasal 5 ayat (2) harus dimaknai “wajib”. Sedangkan Pasal 11 terkait pensiun PNS diubah dengan pensiun pejabat negara. Namun, permohonan ini ditolak Majelis Hakim yang diketuai Yulius beranggotakan Imam Soebechi dan Mohammad Saleh pada 29 Desember 2015.   Majelis berpendapat dalil para Pemohon (FDHI) tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Menurut Majelis kata “” dalam Pasal 5 PP No. 94 Tahun 2012 yang mengatur tunjangan perumahan dan transportasi bagi hakim faktanya memang belum terpenuhi sesuai kemampuan negara saat ini. Sesuai maknanya kata “” tersebut berarti memang “”. Atas dasar itu, dalil permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.   Putusan ini menunjukkan sebagian kalangan hakim masih menuntut kesejahteraan dan jaminan perlindungan seperti layaknya pejabat negara. Wajar, kedudukan hakim sebagai pejabat tentu membawa konsekuensi hak-haknya seperti pejabat negara lain. Bedanya, hakim dijuluki "Yang Mulia" dan proses pengangkatannya tak seperti pejabat negara lain di lembaga eksekutif dan legislatif.   Saat bersamaan, isu kesejahteraan hakim kembali diperjuangkan kalangan hakim-hakim muda. Kini, jalurnya lewat di DPR yakni mendorong RUU Jabatan Hakim. Perjuangan ini pun mendapat dukungan lembaga terkait, seperti IKAHI, MA, KY, dan DPR sendiri. Sebab, hampir 18 tahun segala konsekuensi kedudukan hakim sebagai pejabat negara masih menginduk sistem atau aturan PNS termasuk sistem penggajian.   Jangankan fasilitas pejabat negara, fasilitas hakim sebagai pejabat negara berstatus PNS saja belum seluruhnya dipenuhi oleh pemerintah sesuai PP No. 94 Tahun 2012. Buktinya, ada sebagian hakim belum mendapat fasilitas perumahan dan kendaraan dinas atau minimal kompensasi yang memadai. Belakangan diketahui, pemenuhan hak dan fasilitas hakim sebagai pejabat negara ternyata digantungkan pada kemampuan keuangan negara.   Saat ini, ada sekitar 8.000-an hakim tingkat pertama dan banding berstatus pejabat negara. Ini bisa berdampak pemenuhan hak dan fasilitas hakim sebagai pejabat negara. Mengutip pernyataan seorang hakim dalam artikelnya berjudul “Khittah Jabatan Hakim” yang dimuat di , banyaknya jumlah hakim menimbulkan hitung-hitungan anggaran yang cukup besar.     Hal ini berangkat dari asumsi, setiap pejabat negara mempunyai hak atas fasilitas yang sama. Persepsi demikian berakibat pada pilihan mendegradasi status jabatan hakim dari pejabat negara menjadi “pejabat negeri” (pejabat negara tertentu berstatus PNS, red) agar negara terhindar dari kewajiban memenuhi hak-hak hakim sebagai pejabat negara. Sebab, ketika semua hakim adalah pejabat negara, maka ia harus diberikan fasilitas dan protokoler layaknya pejabat negara seperti halnya menteri.   Padahal, status pejabat negara tidak identik atau selalu dihubungkan dengan periodeisasi masa jabatan dan hak-fasilitas yang diperoleh, tetapi pada karakteristik unik dan fungsi jabatan hakim itu sendiri. Karena itu, mendegradasi jabatan hakim dari pejabat negara menjadi pejabat negeri atas dasar orientasi hak dan fasilitas adalah kekeliruan.     Nampaknya, tidak semua hakim hendak menuntut hak (protokoler) dan fasilitas mewah. Tetapi, cukup terpenuhi kebutuhannya secara proporsional yang bisa menjamin pelaksanaan tugas peradilan secara profesional, independen, aman, nyaman. Para hakim tentu berharap banyak pada RUU Jabatan Hakim yang tengah berproses di Senayan. Terpenting, memastikan “jenis kelamin” kedudukan-status jabatan hakim yang ideal, apakah tetap sebagai pejabat negara, pejabat negara tertentu (berstatus PNS), atau bisa disebut istilah jabatan lain yang lebih ?   Tentu, kepastian kedudukan ini berpengaruh terhadap kesejahteraan dan jaminan perlindungan para hakim yang diperolehnya secara proporsional sesuai jenjang karir dan kepangkatannya. Nantinya, RUU Jabatan Hakim ini juga akan lebih mudah merumuskan sistem atau mekanisme rekrutmen calon hakim dan sistem-sistem lain dalam upaya pengelolaaan/manajeman hakim yang lebih baik. Tentu, termasuk pengaturan hakim ad hoc (bukan pejabat negara) didalamnya. Semoga…       
officum nobile

pejabat negara







ancaman mogokBaca Juga: Sunoto: Hakim Muda Penggagas Mogok Sidang



Take home pay

Hak keuangan dan fasilitas   
PP No. 94 Tahun 2012



take home pay










take home pay













Judicial-legislative review
padaBeleid



dapatdapattidak wajibBaca Juga: MA Tolak Uji Materi PP Gaji Hakim



legislative reviewdibentuknya

Baca Juga: Begini Konsekuensi Logis Status Hakim Pejabat Negara

Hukumonline



Baca Juga: Khittah Jabatan Hakim oleh: Wahyu Sudarajat & Abdul Halim Borne*)

legislative reviewpasBaca Juga: DPR-Pemerintah Bahas RUU Jabatan Hakim

Tags:

Berita Terkait