Dinilai Merugikan, Pemerintah Didesak Tak Menandatangani Perjanjian RCEP
Berita

Dinilai Merugikan, Pemerintah Didesak Tak Menandatangani Perjanjian RCEP

RCEP dinilai akan semakin memperparah krisis multidimensi yang tengah dihadapi Indonesia saat ini.

Oleh:
Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 4 Menit
Presiden Joko Widodo. Foto: RES
Presiden Joko Widodo. Foto: RES

Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan kuartal ketiga tahun 2020 Indonesia berada dalam situasi resesi. Hal ini membuat Indonesia dan negara-negara berkembang diprediksi akan mengalami dampak jangka panjang kerugian ekonomi akibat pandemi lebih berat dan akan membutuhkan waktu lebih lama untuk bisa pulih kembali.

Di tengah situasi ini pemerintah Indonesia tengah bersiap menandatangani perjanjian perdagangan bebas kawasan Asia-Pasifik (RCEP), Minggu (15/11/2020). Menurut Ekonom PBB untuk Perdagangan dan Pembangun (UNCTAD) Rashmi Banga, ketentuan-ketentuan liberalisasi dalam RCEP akan sangat membatasi ruang kebijakan negara dan menyulitkan negara-negara ASEAN untuk keluar dari krisis multidimensi, kesehatan, ekonomi, dan iklim yang tengah dihadapi saat ini.

Menurut analisis Rashmi, kerugian yang akan dialami negara-negara ASEAN dari perjanjian RCEP ini mencapai USD 22 miliar. Indonesia sendiri akan mengalami defisit perdagangan barang hampir USD 1,4 miliar dari kehilangan tarif akibat RCEP. Rashmi melanjutkan, sejumlah sektor di Indonesia seperti otomotif, produks besi baja, gula, dan pangan olahan akan sangat dirugikan.

Senada, Direktur Eksekutif Indonesia Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti menyebutkan perjanjian RCEP berpeluang besar merugikan perekonomian dan ruang hidup masyarakat Indonesia. Bila dikalkulasi, dengan bergabung ke RCEP, ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh 0,05% di tahun 2030. 

“Ini kontras dengan narasi pemerintah yang mengharapkan ekonomi membaik dari RCEP. Justru sebaliknya Indonesia akan menjadi sasaran pasar bagi negara dagang RCEP,” ujar Rachmi dalam keterangannya kepada Hukumonline, Sabtu (14/11/2020).

Tak hanya itu, setiap perjanjian perdagangan bebas yang dikomitmenkan oleh Pemerintah, menurut Rachmi tidak mengukur analisis dampak HAM, sosial, dan lingkungan dari sebuah perjanjian dagang, termasuk perjanjian RCEP. Tidak adanya analisis dampak HAM, sosial, dan lingkungan ini akan berakibat terhadap pelanggaran hak-hak sosial masyarakat ataupun perampasan ruang hidup rakyat.

Sementara Koordinator Program Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Arie Kurniawaty menilai, pernyataan Menteri Perdagangan bahwa kerja sama ekonomi RCEP akan mendongkrak UMKM adalah klaim yang tidak berdasar. Menurut Arie, hingga hari ini banyak usaha kecil yang dikelola oleh perempuan mengalami kesulitan untuk bangkit akibat terpukul oleh pandemi Covid-19. 

Dia mempertanyakan dampaknya jika nanti akses pasar terbuka lebar. Banyak perempuan pelaku usaha kecil yang dengan kapasitas terbatas harus bersaing dengan produksi massal dari negara lainnya dengan dukungan dan kapasitas yang lebih maju. Peluang apa yang bisa dimanfaatkan dari RCEP, menurut Arie juga tidak diketahui pasti karena teks yang dinegosiasikan tidak pernah disampaikan kepada publik atau dikonsultasikan.

Dirinya menjelaskan, usaha pangan olahan, khususnya skala kecil, merupakan sektor yang sangat banyak dilakoni oleh perempuan. Hal ini karena sangat lekat dengan peran gender yang dilekatkan terhadap perempuan. Berdasarkan data Kemenko PMK, kontribusi UMKM (usaha mikro, kecil, menengah) yang dikelola oleh perempuan terhadap PDB di Indonesia mencapai hingga 9,1%. 

“Sayangnya, peran ini tak terlihat dan tak diakui, sehingga perempuan tak pernah diperhitungkan situasi spesifiknya termasuk dalam negosiasi perjanjian perdagangan seperti RCEP,” ujar Arie.

Arie menilai hilangnya ruang kebijakan dan fiskal akibat perjanjian perdagangan bebas, seperti RCEP tidak bisa dilepaskan dari situasi dalam negeri yang juga telah membuka lebar liberalisasi perdagangan dan investasi melalui sejumlah kebijakan, seperti UU Cipta Kerja yang telah disahkan.

Ketika di dalam negeri perlindungan hak asasi manusia, tenaga kerja, dan lingkungan hidup semakin disempitkan dengan UU Cipta Kerja, penandatanganan RCEP oleh pemerintah akan secara penuh menyerahkan Indonesia dalam rekonfigurasi liberalisasi ekonomi pasar global melalui ekspansi produksi, distribusi, dan reproduksi kapital. Hal ini dinilai akan memperparah perebutan hak-hak rakyat dan ekonomi nasional yang sudah terpukul akibat pandemi berkepanjangan.

Koalisi Masyarakat untuk Keadilan Ekonomi menyebutkan, hingga menjelang penandatangan RCEP, teks perjanjian tidak dibuka kepada publik, bahkan tidak juga kepada parlemen. Semestinya menjadi penting bagi parlemen dan masyarakat untuk bisa mencermati dan mengkritisi perjanjian ini yang akan memiliki implikasi jangka panjang terhadap negara dan seluruh rakyat Indonesia. 

Karena itu, jaringan masyarakat sipil yang terdiri dari berbagai pihak, perempuan, petani, nelayan, peneliti yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat untuk Keadilan Ekonomi mendesak pemerintah untuk tidak menandatangani RCEP yang justru akan semakin memperparah krisis multidimensi yang tengah dihadapi Indonesia saat ini.

Penguatan integrasi ekonomi

Presiden Joko Widodo menyambut baik keputusan Selandia Baru untuk menandatangani kemitraan ekonomi komprehensif regional (Regional Comprehensive Economic Partnership/RCEP) sebagai bentuk penguatan integrasi ekonomi.

“Sebagai salah satu perwujudan multilateralisme, integrasi ekonomi perlu diperkuat dan Presiden menyambut baik keputusan Selandia baru untuk menandatangani RCEP,” kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi usai mendampingi Presiden Jokowi yang mengikuti secara virtual Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN dengan negara-negara mitra, termasuk KTT ASEAN - Selandia Baru, dari Istana Kepresidenan di Bogor, Sabtu (14/11/2020) seperti dikutip Antara.

Retno mengatakan Presiden menyampaikan pentingnya untuk terus memperkuat multilateralisme atau kerja sama multilateral saat pertemuan KTT ASEAN - Selandia Baru. “Presiden menyampaikan penting untuk terus memperkuat multilateralisme. Kita perlu memastikan bahwa multilateralism deliver for alls,” ujar dia.

Presiden menyampaikan kepada mitranya, Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern, untuk terus memperkuat kemitraan di Pasifik. Presiden juga menyampaikan ucapan selamat kepada Ardern yang baru saja terpilih kembali menjadi Perdana Menteri Selandia Baru.

“Hubungan baik antara Selandia baru dan ASEAN dapat digunakan untuk memperkuat kemitraan kita dengan Pasifik Selatan, termasuk di bidang perikanan dan perubahan iklim, dan ASEAN Outlook on Indo-Pacific dapat dijadikan pijakan bagi pengembangan kerja sama tersebut,” kata Retno.

RCEP merupakan kemitraan komprehensif yang melibatkan 10 negara ASEAN dengan lima mitra dagang lain yaitu China, Korea Selatan, Australia, Jepang, dan Selandia Baru. Para anggotanya membentuk hampir sepertiga dari populasi dunia dan menyumbang 29 persen dari produk domestik bruto (PDB) dunia.

Menteri Perdagangan Agus Suparmanto sebelumnya mengatakan bahwa kemitraan RCEP bakal ditandatangani pada Minggu, 15 November 2020. (ANT)

Tags:

Berita Terkait