Dirjen Minerba Dicecar KPK Terkait Penerbitan Izin Tambang
Berita

Dirjen Minerba Dicecar KPK Terkait Penerbitan Izin Tambang

Bukan hanya di tingkat pusat, kebijakan izin tambang juga ditanyakan untuk di daerah-daerah.

Oleh:
ANT/Fathan Qorib
Bacaan 2 Menit
Banyak pemegang izin usaha pertambangan (IUP) belum sampaikan rencana reklamasi. Foto: ady
Banyak pemegang izin usaha pertambangan (IUP) belum sampaikan rencana reklamasi. Foto: ady
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono dicecar pertanyaan terkait penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) di Sulawesi Tenggara. "Saya hanya dimintai keterangan soal penerbitan izin," kata Bambang seusai menjalani pemeriksaan selama sekitar enam jam di gedung KPK, di Jakarta, Jumat (16/9).

Bambang menjadi saksi untuk tersangka Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Nur Alam dalam penyidikan kasus dugaan perkara tindak pidana korupsi penyalahgunaan wewenang dalam persetujuan penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) di wilayah Sultra periode 2008-2014.

IUP yang dimaksud adalah untuk status clear and clean PT Anugerah Harisma Barakah (AHB) di kabupaten Buton dan Bombana Sulawesi Tenggara. Namun, Bambang menolak menjelaskan status IUP tersebut. "Yah tanya sana dong, aku kan tidak mengeluarkan izin," tambah Bambang.

Menurut Pelaksana Tugas (Plt) Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati mengatakan, Bambang diperiksa terkait kebijakan Kementerian ESDM mengenai pengeluaran izin. "Yang bersangkutan dimintai keterangan tentang policy Kementerian ESDM mengenai izin pertambangan dan policy pusat dan daerah terkait izin-izin pertambangan," ungkapnya.

Tersangka dalam kasus ini adalah Gubernur Sultra Nur Alam. KPK sudah mengirim surat permintaan cegah terhadap Nur Alam, Kepala Dinas ESDM Sultra Burhanuddin, Direktur PT Billy Indonesia Widdi Aswindi dan pemilik PT Billy Indonesia Emi Sukiati Lasimon. (Baca Juga: Gubernur Sultra Tersangka IUP, KPK Peringatkan Kepala Daerah Lain)

Nur Alam diduga melakukan perbutan melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan mengeluarkan Surat Keputusan Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan Eksplorasi, SK Persetujuan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi dan SK Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Ekslorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT Anugerah Harisma Barakah selaku perusahaan yang melakukan penambangan nikel di kabupaten Buton dan Bombana Sulawesi Tenggara.

Ia disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU No.31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tahun 2013, Nur Alam diduga menerima aliran dana sebesar AS$4,5 juta atau setara dengan Rp50 miliar dari Richcorp Internasional yang dikirim ke bank di Hong Kong dan sebagian di antaranya ditempatkan pada tiga polis AXA Mandiri.Richcorp, melalui PT Realluck International Ltd (saham Richcop 50 persen), merupakan pembeli tambang dari PT Billy Indonesia.

Prioritaskan Kasus
Selain perkara yang melilit Nur Alam, KPK juga tengah mempelajari dugaan tindak pidana korupsi terkait sumber daya alam, yakni pembangunan PLTU. Peneliti Indonesian Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar berharap, agar KPK tetap memprioritaskan penanganan kasus tambang dan lingkungan.

"Harusnya kasus sumber daya alam itu menjadi salah satu prioritas," kata Erwin. (Baca Juga: KPK Pelajari Laporan Terkait PLTU Muara Jawa)

Ia berharap, dalam penanganan kasus itu jangan dibawa ke ranah politis. Kendati demikian, Erwin tidak bisa menutup kenyataan jika KPK lama memproses kasus tambang yang tidak terlepas dari kurangnya tenaga penyidik di institusi pemberantasan korupsi tersebut.

Hal serupa juga diutarakan Anggota Komisi Hukum DPR dari Fraksi PPP, Arsul Sani. Ia menyebutkan,KPK tentunya harus mendapatkan audit kerugian negara dalam penanganan kasus tambang dan lingkungan itu terlebih dahulu. “Jadi tidak bisa begitu saja setiap laporan ditetapkan tersangka yang tentunya harus ada audit kerugian negara terlebih dahulu, katanya.

Sebelumnya, KPK mengaku masih mempelajari laporan dugaan tindak pidana korupsi pembangunan PLTU Muara Jawa, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur yang diduga dilakukan PT Indo Ridlatama Power (IRP), anak perusahaan PT Indonesia Power yang merugikan keuangan negara Rp3,7 miliar.

"Laporan itu sedang ditelaah apakah ada unsur Tindak Pidana Korupsi (TPK) atau tidak, kalau memang ada TPK akan ditindaklanjuti," kataYuyuk beberapa waktu lalu.
Tags:

Berita Terkait