Disayangkan, Tes Keperawanan di Institusi Polri Masih Berlangsung
Berita

Disayangkan, Tes Keperawanan di Institusi Polri Masih Berlangsung

Meski tes keperawanan perlu dilakukan, Polri bisa bekerjasama dengan bidan, dokter atau Ikatan Dokter Indonesia.

Oleh:
YOZ/ANT
Bacaan 2 Menit
Komnas Perempuan. Foto: SGP
Komnas Perempuan. Foto: SGP
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyesalkan praktik tes keperawanan (pemeriksaan kondisi selaput dara) masih berlangsung di institusi kepolisian sebagai bagian dari tes kesehatan calon anggota polwan. Ketua Komnas Perempuan, Yuniyanti Chuzaifah, menyerukan agar Kapolri segera mengeluarkan kebijakan tertulis untuk memastikan tidak ada toleransi terhadap praktik tes keperawanan.

“Kebijakan ini juga perlu diambil oleh berbagai institusi lainnya, termasuk Tentara Nasional Indonesia,  jika masih melangsungkan praktik serupa,” ujarnya dalam siaran pers yang diterima hukumonline, Jumat (21/11).

Yuniyanti mengatakan, meski hasil tes tidak mempengaruhi dapat tidaknya seseorang lolos sebagai calon anggota polisi wanita (polwan), praktik ini diskriminatif karena dilatari oleh prasangka berbasis gender yang merendahkan perempuan.

Tes keperawanan adalah tindakan memeriksa kondisi selaput dara yang kerap direkatkan dengan asumsi pernah tidaknya seorang perempuan melakukan hubungan seksual. Menurut Yuniyanti, tes ini tidak memiliki kemanfaatan medis untuk menentukan kondisi kesehatan seseorang, melainkan lebih lekat pada prasangka mengenai moralitas perempuan dan dapat menimbulkan trauma bagi yang mengalaminya.

“Tes serupa hampir tidak mungkin dilakukan terhadap laki-laki, baik karena anatomi tubuhnya maupun karena secara sosiologis simbol kesucian dibebankan kepada perempuan, bukan laki-laki,” ujarnya.

Dia melanjutkan, kondisi selaput dara dengan gampang dijadikan pembeda antara “perempuan baik-baik” dan ‘perempuan nakal’. Stigma ‘perempuan nakal’ sangat kuat di tengah aparat dan masyarakat yang kurang memiliki pemahaman bahwa ketidakutuhan selaput dara bukan saja akibat hubungan seksual. “Stigma ini semakin kuat terutama di kalangan yang kurang memiliki kepekaan dan empati kepada perempuan korban perkosaan dan eksploitasi seksual,” katanya.

Yuniyanti mengatakan, budaya menghakimi moralitas dan perempuan korban kekerasan seksual dalam konteks ini mengemuka dalam perbedaan pernyataan di tubuh kepolisian ketika dihadapkan dengan pertanyaan tentang tes keperawanan.

Selain itu, sambung Yunyanti, Komnas Perempuan mengecam sikap pejabat publik yang justru mendukung praktik diskriminatif, termasuk dalam tes keperawanan. Dia berpendapat bahwa membiarkan praktik diskriminatif serupa tes keperawanan berarti mengingkari jaminan konstitusi pada hak warga negara, utamanya Pasal 28I Ayat 2 untuk hak bebas dari diskriminasi dan Pasal 28G Ayat 1 tentang hak atas perlindungan diri, harkat dan martabat, dan Pasal 27 Ayat 1 tentang hak kesamaan di hadapan hukum dan pemerintahan.

“Sebab, budaya penghakiman moralitas dapat memutus akses pekerjaan bagi perempuan korban kekerasan seksual, tes ini juga berpotensi melanggar Pasal 27 Ayat 2 dan Pasal 28D Ayat 2 tentang hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak,” tuturnya.

Untuk mendukung upaya penyikapan tertulis Kapolri, Komnas Perempuan bersedia untuk berkoordinasi lebih lanjut. Berkaitan dengan ini, Komnas Perempuan juga mendorong Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan memastikan penyikapan lintas institusi untuk mendukung upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan terkait dengan praktik tes keperawanan.

Komnas Perempuan juga meminta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Hukum dan HAM untuk melakukan koordinasi untuk memastikan petugas medis dan pejabat publik tidak mendukung atau bahkan terlibat dalam praktik diskriminatif ini.

Selain itu, Komnas meminta Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dan Kebudayaan untuk memastikan integrasi pemahaman keadilan gender dalam kurikulum pendidikan nasional. Partai Politik juga melakukan pendidikan hak konstitusional kepada anggotanya, utamanya yang terpilih sebagai anggota parlemen di tingkat nasional maupun internasional.

“Komnas juga meminta kepada Badan Kehormatan DPR RI mengintegrasikan komitmen penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dalam elemen pengawasan anggota legislatif,” pungkasnya.

Gandeng Ahli
Sementara itu, Anggota Komisi III DPR RI Almuzzammil Yusuf mendukung pelaksanaan tes keperawanan bagi calon anggota Polwan dengan alasan hal itu berhubungan dengan moralitas. "Pemeriksaan kesehatan menyeluruh terhadap calon polisi laki-laki maupun wanita perlu dilakukan, termasuk tes perilaku penyimpangan seksual melalui tes keperawanan atau tes keperjakaan jika ada," kata Almuzzammil.

Menurut politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, pemeriksaan itu penting untuk menyeleksi para penegak hukum yang memiliki moralitas yang unggul dalam penegakan hukum. "Hukum harus ditegakkan oleh penegak hukum yang punya moralitas tinggi. Bersih dari pergaulan bebas, korupsi, narkoba, dan catatan kejahatan lainnya. Tentu harus memiliki kecerdasan di atas rata-rata," tutur politikus asal Lampung ini.

Menurut Muzzammil, tes kesehatan menyeluruh termasuk tes keperawanan terhadap calon polwan merupakan salah satu cara untuk mengetahui kemungkinan adanya jejak buruk calon penegak hukum. Cara lain bisa dengan investigasi lapangan atau dengan menggunakan "lie detector" untuk mencocokkan antara bukti dan pengakuan calon.

"Tapi kalaupun tes keperawanan harus dilakukan, maka harus dilakukan secara hati-hati, tidak menyakiti, dan menjaga kehormatan aurat perempuan. Jadi pemeriksaan harus dilakukan oleh bidan atau dokter ahli dari perempuan juga. Bukan laki-laki. Untuk itu Polri harus bekerja sama dengan IDI," katanya.

Selain itu, Muzzammil juga menyarankan agar tes keperawanan tidak terlalu kaku, dalam arti peserta harus diberi ruang untuk mengklarifikasi jika diketahui tidak perawan. Sebab, tidak semua wanita yang tidak perawan disebabkan karena pergaulan bebas. Ketidakperawanan bisa disebabkan cedera.

"Apakah mereka yang tidak perawan akibat jatuh atau cedera tidak bisa menjadi anggota Polwan? Saya rasa itu tidak adil. Polri pasti dapat mencari tahu apakah ketidakperawanan disebabkan pergaulan bebas atau cedera," ujarnya.
Tags:

Berita Terkait