Diskresi Pejabat dalam Tindak Pidana Korupsi

Diskresi Pejabat dalam Tindak Pidana Korupsi

Pejabat yang menggunakan argumentasi diskresi acapkali tersandung masalah penyalahgunaan wewenang.
Diskresi Pejabat dalam Tindak Pidana Korupsi

Apakah seorang pejabat negara atau pemerintahan dapat menjadikan diskresi sebagai dalil untuk meloloskan diri dari tuduhan korupsi? Jawabannya tentu saja dapat. Persoalannya adalah bagaimana membangun dalil diskresi untuk meyakinkan hakim yang memeriksa dan memutus perkara. Jika penyelenggara negara atau pejabat membuat kebijakan secara melawan hukum, mungkin saja ia tak akan lolos dari tuduhan korupsi.

Sekadar contoh kebijakan yang ditempuh BP, eks Kepala Dinas Perkebunan di salah satu kabupaten di Jambi. Ia memotong biaya perjalanan dinas pegawai Dinas Perkebunan. Dana itu dipergunakan untuk membiayai kegiatan yang tidak dianggarkan dalam DIPA seperti acara 17 Agustus dan biaya mengikuti pameran. Jaksa menuduh BP melakukan tindak pidana korupsi, melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001. Pengadilan telah membebaskan BP karena menganggap apa yang dilakukan adalah diskresi pejabat bersangkutan sesuai dengan kewenangannya (Putusan MA No. 723 K/Pid.Sus/2013).

Diskresi merupakan salah satu instrumen penting dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pemberian diskresi kepada pejabat bermaksud melancarkan urusan pemerintahan. Dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, diskresi didefinisikan sebagai keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. 

Pemberian diskresi kepada pejabat bermaksud melancarkan urusan pemerintahan

UU Administrasi Pemerintahan (UUAP) membagi akibat hukum diskresi ke dalam tiga kategori. Kategori pertama, yang berakibat diskresi menjadi tidak sah. Kategori ini dianggap terjadi jika: (a) pejabat bertindak melampaui batas waktu berlakunya wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan; (b) pejabat bertindak melampaui batas wilayah berlakunya wewenang yang diberikan; atau (c) tidak sesuai dengan ketentuan prosedur penggunaan diskresi yang diatur dalam Pasal 26-28 UUAP.

Masuk ke akun Anda atau berlangganan untuk mengakses Premium Stories
Premium Stories Professional

Segera masuk ke akun Anda atau berlangganan sekarang untuk Dapatkan Akses Tak Terbatas Premium Stories Hukumonline! Referensi Praktis Profesional Hukum

Premium Stories Professional