Dalam perkembangan penerapan hukum, keputusan pejabat negara dalam bentuk diskresi (kebijaksanaan-discretionary power) menarik untuk menjadi kajian tersendiri. Hal ini tidak terlepas dari keberadaan diskresi sebagai instrumen pemerintah banyak diperbincangkan keberadaannya dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Sebagian kalangan mengidentifikasi pangkal perbincangan ini terutama terkait konsep diskresi itu sendiri, apa tolak ukurnya, siapa yang dapat melakukan diskresi, dan bagaimana mengontrol penggunaan diskresi.
Ridwan dalam Diskresi (Freies Ermessen) oleh Pejabat Pemerintah: Rambu Hukum, Alat Ukur, Keabsahan, dan Kecermatan dalam Penggunaannya, menyebutkan esensi dari diskresi adalah pengambilan suatu keputusan yang cepat, dan berfaedah terhadap sesuatu yang belum diatur oleh hukum, atau aturannya tidak jelas (normanya kabur, vagenormen).
Dalam penggunaannya, diskresi menyaratkan adanya akuntabilitas. Sri Juni Woro Astuti dalam Akuntabilitas Diskresi Birokrasi di Era Otonomi Daerah menjelaskan, akuntabilitas diskresi dapat diwujudkan dalam sistem yang akuntabel melalui mekanisme kontrol birokrasi baik internal maupun eksternal. Kontrol terhadap penggunaan wewenang diskresi bertujuan untuk melindungi individu dan masyarakat dari penggunaan hukum yang bersifat administratif.
Dalam pelaksanaan diskresi, tidak jarang terlihat bahwa diskresi dilakukan untuk mencari keuntungan sendiri maupun atas kepentingan kelompok tertentu. Haniah Hanafie dalam Diskresi Birokrasi Pemerintahan dan Korupsi (2013:91) menyebutkan bahwa praktik diskresi semacam ini merupakan penyimpangan terhadap jabatan/aturan-aturan yang ada dan mengakibatkan terjadinya perbuatan korupsi.