Diskusi Publik LHKP PP Muhammadiyah Sebut 25 Tahun Reformasi Telah Gagal
25 Tahun Reformasi

Diskusi Publik LHKP PP Muhammadiyah Sebut 25 Tahun Reformasi Telah Gagal

Mulai dari produk undang-undang yang menghidupkan kolonialisasi sampai pemberantasan korupsi dimanipulasi dan dimanfaatkan rezim yang berkuasa untuk menjegal lawan politik.

Oleh:
Normand Edwin Elnizar
Bacaan 3 Menit
Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati; Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid; Mantan Ketua YLBHI 1998 Bambang Widjojanto; Peneliti Politik Senior LIPI/BRIN Prof. R. Siti Zuhro; Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum & HAM Busyro Muqoddas. Foto: Istimewa
Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati; Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid; Mantan Ketua YLBHI 1998 Bambang Widjojanto; Peneliti Politik Senior LIPI/BRIN Prof. R. Siti Zuhro; Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum & HAM Busyro Muqoddas. Foto: Istimewa

Hasil diskusi publik yang digelar Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Pusat (LHKP PP) Muhammadiyah menyimpulkan gerakan reformasi Indonesia 1998 telah gagal. Hal itu disampaikan para narasumber acara diskusi berjudul “25 Tahun Reformasi: Tantangan Mewujudkan Keadilan Negara Hukum”, Senin (22/5/2023) di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta.

“Apakah situasi sekarang lebih mengerikan dari Orde Baru? Jawabannya adalah iya,” ujar Busyro Muqoddas, Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM. Busyro tercatat pernah menjadi Ketua Komisi Yudisial dan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia menilai seperempat abad pasca reformasi 1998 dihancurkan oleh praktik politik praktis yang tidak bermoral terutama korupsi.

“Lingkaran istana meramaikan isu-isu radikalisme yang hanya kamuflase menutupi isu korupsi di pemerintahan,” kata Busyro mengungkapkan. Ia membandingkan situasi terkini Indonesia dengan pengalamannya ikut menumbangkan Orde Baru. Perlu diingat bahwa Busyro adalah salah satu pelaku sejarah gerakan reformasi.

Baca Juga:

Catatan kritis Busyro yang lain adalah sejumlah undang-undang yang dia anggap merusak tatanan demokrasi. “Sebut saja ada 8 undang-undang yang menghidupkan kolonialisasi. Mulai dari UU Partai Politik, UU ITE, UU Minerba, UU Cipta Kerja, KUHP, UU KPK, UU MK, dan belakangan RUU Kesehatan,” kata dia. Ia menilai revisi dan rancangan sejumlah undang-undang itu telah dimanipulasi, sehingga jauh dari semangat demokrasi. “Memang mengakunya atas nama Pancasila dan sok ideologis, tapi nyatanya digunakan dengan cara hipokrit,” beber Busyro.

Narasumber lain yang hadir juga hampir semuanya terlibat langsung reformasi 1998. Mereka adalah Bambang Widjojanto (Mantan Ketua YLBHI 1998), Prof. R. Siti Zuhro (Peneliti Politik Senior LIPI/ BRIN), Usman Hamid (Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia), dan Khoirunnisa Nur Agustyati (Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi/Perludem).

Indikator kegagalan reformasi 1998 lainnya disampaikan oleh Siti Zuhro. Ia mengingatkan salah satu amanat reformasi adalah desentralisasi dan otonomi daerah. “Desentralisasi nyatanya sudah tidak ada karena sudah diubah jadi praktik pembantuan. Semua pemerintahan daerah bergantung pusat. Silakan lihat UU Cipta Kerja!” kata Zuhro.

Ia menyebut seperempat abad reformasi tidak berhasil memperkuat kemandirian daerah. Rancangan otonomi daerah dibajak elit politik praktis untuk tujuan korupsi. Akibatnya adalah ketimpangan kesejahteraan ekonomi antardaerah masih tinggi. “Daerah-daerah mungkin sekarang sedang diam, tapi ingat tahun 1958 pernah terjadi pemberontakan daerah akibat ketimpangan ekonomi,” kata dia mengingatkan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait