DJSN Ingatkan Pentingnya Program Jaminan Sosial
Berita

DJSN Ingatkan Pentingnya Program Jaminan Sosial

Usulkan penetapan hari jaminan sosial Indonesia. Tetapi harus jadi momentum perbaikan bagi seluruh pemangku kepentingan.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Pimpinan DJSN bersilaturrahmi dengan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Foto: Humas DJSN.
Pimpinan DJSN bersilaturrahmi dengan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Foto: Humas DJSN.
Tiga belas tahun lalu, Presiden Megawati Soekarnoputri meneken UU No.40 Tahun 2004  tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), dan berlaku mulai 19 Oktober 2004. Dalam rangka memperingati hari lahir SJSN pada 19 Oktober, Ketua DJSN, Sigit Priohutomo, mengajak seluruh kalangan untuk mengevaluasi pelaksanaan UU SJSN apakah sudah berjalan sebagaimana amanat konstitusi.

Pasal 28 H ayat (3) UUD1945 menyebut setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 mengamanatkan negara untuk mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat lemah dan warga tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

Menurut Sigit, amanat konstitusi itu sudah dituangkan dalam UU SJSN yang secara operasional dilaksanakan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Untuk PT Taspen dan PT Asabri diperintahkan untuk bertransformasi menjadi BPJS paling lambat tahun 2029.

(Baca juga: 6 Penelitian Jaminan Kesehatan yang Mempengaruhi Kebijakan).

Diakui Sigit,program jaminan sosial yang diselenggarakan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan sejak tahun 2014 menghadapi banyak tantangan. Capaian kepesertaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan melalui BPJS Kesehatan baru 182,5 juta orang (70 persen) dari seluruh jumlah penduduk Indonesia sekitar 261 juta jiwa. Padahal paling lambat 2019 program JKN ditargetkan mencapai universal health coverage (UHC).

“Masih ada 78,5 juta orang (30 persen) penduduk Indonesia yang belum menjadi peserta JKN,” kata Sigit dalam keterangan pers yang diterima hukumonline, Selasa (17/10).

Pelayanan yang diberikan kepada peserta JKN belum optimal karena fasilitas kesehatan (faskes) yang menjadi mitra BPJS Kesehatan belum memadai. Pemerintah perlu melakukan upaya guna mengatasi persoalan tersebut.

(Baca juga: 4 Catatan Kementerian Kesehatan Terhadap JKN).

Jumlah peserta program Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Pensiun (JP), dan Jaminan Kematian (JKM) yang digelar BPJS Ketenagakerjaan menurut Sigit per Agustus 2017 baru mencapai 15,3 juta orang. Klaim rasio JHT mencapai 60-70 persen menunjukkan ada masalah serius mengenai keberlanjutan program. Begitu pula dengan program JP yang besaran iurannya hanya 3 persen dengan manfaat belum memadai.

“Program JHT dan JP merupakan ruh dari jaminan sosial ketenagakerjaan untuk pencapaian hidup layak pada masa tua sebagaimana tujuan hakiki jaminan sosial,” ujar Sigit.

(Baca juga: 8 Masalah Penghambat Jaminan Kesehatan Nasional).

Dalam rangka hari lahir ke-13, DJSN melakukan kembali kegiatan sosialisasi sistem jaminan sosial nasional, roadshowke para Presiden sekaligus meminta testimoni tentang penyelenggaraan jaminan sosial; dan berencana menggelar acara pencanangan hari jaminan sosial Indonesia. Sigit mengaku DJSN telah melayangkan surat kepada mantan Presiden B.J Habibie, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Presiden Joko Widodo.

Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, berpendapat pelaksanaan program jaminan sosial belum dikawal secara baik oleh pemerintah dan BPJS. Kehadiran negara dalam program jaminan sosial dia nilaimasih setengah hati. Menurutnya itu bisa dilihat dari dominasi Kementerian Keuangan dalam setiap proses pembentukan regulasi yang berkaitan dengan jaminan sosial yang ujungnya berorientasi pada APBN.

Misalnya, iuran peserta penerima bantuan iuran (PBI) program JKN yang harusnya Rp36 ribu per orang setiap bulan sebagaimana hitungan aktuaria ternyata hanya dialokasikan Rp23 ribu untuk 92,4 juta rakyat miskin selama 2016-2017. Timboel menduga besaran iuran PBI pada tahun 2018 tidak naik padahal pemerintah punya cukup anggaran yang bisa dialokasikan. Dia menghitung ruang fiskal pemerintah masih memungkinkan untuk menambah anggaran Rp10 triliun untuk bidang kesehatan.

Rendahnya politik anggaran pemerintah untuk program jaminan sosial menurut Timboel berdampak kepada peserta. Pemerintah terus memposisikan BPJS Kesehatan dalam jurang defisit sehingga regulasi operasional JKN yang ada cenderung mempersulit peserta mendapat pelayanan kesehatan.

(Baca juga: Kendalikan Defisit JKN, Pemerintah Bakal Perbaiki Regulasi).

Timboel juga menilai Pemerintah terkesan membiarkan direksi BPJS Kesehatan bekerja tanpa pengawasan yang jelas. Beberapa target Rencana Kerja Anggaran Tahunan (RKAT) tidak tercapai sehingga berkontribusi pada potensi defisit. Capaian kepesertaan Juni 2017 harusnya sudah mencapai187 juta orang, tapi sampai sekarang baru 182,5 juta. “Ini berdampak pada capaian iuran yang tidak bisa memenuhi target,” urainya di Jakarta, Jumat (20/10).

Begitu juga BPJS Ketenagakerjaan, pemerintah menerapkan program JKK dan JKM berdasarkan sektoral yaitu untuk aparatur sipil negara (ASN) dikelola oleh PT Taspen, untuk nelayan dikelola PT Jasindo, untuk pekerja swasta dan BUMN dikelola BPJS Ketenagakerjaan. Kebijakan ini membuat manfaat JKK dan JKM di setiap sektor berbeda-bedasehingga meniadakan semangat gotong royong.

Timboel berharap pencanangan hari jaminan sosial bukan sekadar seremonial. Jika ditetapkan, peringatannya harus menjadi momentum penyadaran seluruh pemangku kepentingan bahwa hak konstitusional rakyat atas jaminan sosial harus dijalankan secara serius.
Tags:

Berita Terkait