Doktrin dan Yurisprudensi Penyalahgunaan Keadaan dalam Perjanjian 

Doktrin dan Yurisprudensi Penyalahgunaan Keadaan dalam Perjanjian 

KUH Perdata dianggap tidak menganut prinsip justum pretium, yang bermakna untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi syarat keseimbangan antara prestasi dan kontraprestasi. 
Doktrin dan Yurisprudensi Penyalahgunaan Keadaan dalam Perjanjian 

Delapan bulan lebih Indonesia sudah menghadapi pandemi Covid-19, dan selama itu Pemerintah berusaha menekan penularan melalui berbagai kebijakan. Selain menetapkan pandemi ini sebagai bencana nasional nonalam (Keppres No. 12 Tahun 2020), Pemerintah memundurkan kewajiban pembayaran kredit, dan pada 11-25 Januari 2021 Pemerintah menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat di Jawa dan Bali. Dunia usaha termasuk yang paling menderita selama pandemi. 

Jutaan orang kehilangan pekerjaan, baik akibat hubungan kerjanya diputuskan maupun akibat perusahaan tutup atau mengurangi jumlah pekerja. Tidak sedikit pula pelaku usaha yang tidak mampu membayar kewajibannya tepat waktu, dan konsekuensinya meminta penjadwalan ulang atau restrukturisasi. Pandemi Covid-19 dijadikan alasan kahar (keadaan memaksa) untuk tidak menjalankan kewajiban sesuai perjanjian awal. 

Tentu saja, keadaan memaksa dalam konteks ini berbeda dari penyalahgunaan keadaan. Meskipun sama-sama bersandar pada ‘keadaan’, imbas keadaan memaksa dan penyalahgunaan keadaan bisa berbeda. Debitur dapat menjadi kahar untuk menunda pembayaran kewajiban, sedangkan dalam penyalahgunaan keadaan debitur dapat meminta pembatalan perjanjian. Misalkan, seseorang yang sangat membutuhkan uang saat pandemi meminjam uang kepada kreditur dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah. Lantaran dalam posisi terjepit kebutuhan ekonomi, debitur memberikan kuasa mutlak kepada kreditur untuk menjual aset-asetnya. Pertanyaannya, dapatkah kondisi butuh uang karena terimbas Covid-19 dikualifikasi sebagai penyalahgunaan keadaan, dan dijadikan dasar permohonan pembatalan perjanjian ke pengadilan? 

Hukumonline belum menemukan kasus permohonan perjanjian yang diteken selama pandemi Covid-19 dan dimohonkan pembatalannya ke pengadilan karena alasan penyalahgunaan keadaan. Yang banyak justru menjadikan pandemi sebagai kahar untuk ‘menghindari’ kewajiban yang sudah jatuh tempo. Tetapi patut dicatat bahwa selama ini, sebagaimana telah berkembang melalui putusan pengadilan, kondisi perekonomian salah satu pihak pada saat perjanjian diteken atau ditutup telah sering dipakai untuk mengklaim terjadinya penyalahgunaan keadaan. 

Masuk ke akun Anda atau berlangganan untuk mengakses Premium Stories
Premium Stories Professional

Segera masuk ke akun Anda atau berlangganan sekarang untuk Dapatkan Akses Tak Terbatas Premium Stories Hukumonline! Referensi Praktis Profesional Hukum

Premium Stories Professional