Dosen FH Universitas Brawijaya Pertahankan Disertasi tentang Kejaksaan di Leiden
Berita

Dosen FH Universitas Brawijaya Pertahankan Disertasi tentang Kejaksaan di Leiden

Meskipun punya diskresi menghentikan perkara, jaksa cenderung meneruskan setiap perkara dari kepolisian. Berimbas pada sistem peradilan pidana.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 3 Menit
Tangkapan layar ketika Fachrizal Afandi mempertahankan disertasi di Universitas Leiden bersama profesor penguji. Foto: MYS
Tangkapan layar ketika Fachrizal Afandi mempertahankan disertasi di Universitas Leiden bersama profesor penguji. Foto: MYS

Mengenakan peci dan kain sarung layaknya santri, Fachrizal Afandi berhasil mempertahankan disertasi di Universitas Leiden, Belanda, Kamis (21/1). Dosen hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang mempertahankan disertasi ‘Maintaining Order: Public Prosecutors in Post Authoritarian Countries, the Case of Indonesia’ di hadapan tim penguji profesor lintas perguruan tinggi. Ada Maartje van der Woude, Ward J. Berenschot dari Universiteit van Amsterdam, Topo Santoso dari Universitas Indonesia, Melissa Crouch dari University of South Wales Australia, David Henley dan dan Jeroen ten Voorde  dari Universitas Leiden.

Disertasi (tesis doktor) ini merupakan kajian selama bertahun-tahun yang dilakukan Fachrizal di Indonesia mengenai jaksa/penuntut umum perkara pidana. Penuntut umum (public prosecutor) adalah salah satu unsur penting dalam sistem peradilan pidana. Setelah Orde Baru runtuh, ditandai era reformasi, pengaturan tentang penuntut umum dengan tugas-tugasnya tetap dilanjutkan. Pada 2004, lahir UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Namun secara umum Kejaksaan menghadapi persoalan kurangnya otoritas, anggaran, dan independensi.

Riset Fachrizal menunjukkan kebijakan membuat jaksa berperilaku seperti militer menjadi penyebab utama terjadinya disfungsi birokrasi; yang pada akhirnya menimbulkan erosi kualitas administrasi peradilan pidana. Ini membawa implikasi serius pada kinerja jaksa penuntut umum dalam sistem peradilan pidana.

(Baca juga: Beda Kewenangan KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan Selaku Penyelidik dan Penyidik).

Menurut Fachrizal, walaupun Indonesia sudah menjadi lebih demokratis sejak kejatuhan pemerintahan Orde Baru, sistem peradilan pidananya tidak dapat dianalisis hanya dengan menggunaan model due process and crime control model yang dikembangkan Herbert L. Packer (1925-1972), Guru Besar Hukum Pidana Stanford University. Model ini menekankan bagaimana aktor-aktor dalam sistem peradilan pidana harus menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai rule of law, dan mereka tidak boleh menabrak aturan hukum selama dalam proses pelaksanaan tugas. Sayangnya, aktor-aktor dalam sistem peradilan pidana, termasuk penuntut umum, secara teratur mengabaikan ‘aturan main’ demi mencapai tujuan mereka. Prosedur pidana dijalankan sepanjang sesuai dengan kepentingan, tetapi mereka lebih memilih mengabaikan aturan jika bertentangan dengan tujuan mereka.

Pengurus Komite Eksekutif Pusat Pengembangan Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya (Persada-UB) itu berpendapat reformasi institusi Kejaksaan perlu dilakukan, tetapi langkah itu juga perlu dilakukan pada aktor sistem peradilan pidana lainnya seperti kepolisian, lembaga pemasyarakatan, dan pengadilan. “Pemerintah harus berinvestasi lebih banyak untuk menjamin due process dalam sistem hukum acara pidana, bahkan dalam konstitusi,” paparnya dalam ringkasan disertasi yang diperoleh hukumonline.

Jika pemerintah serius mendorong rule of law dalam sistem peradilan pidana, maka perlu dilakukan upaya memperkuat sistem kontrol terhadap tindakan paksa sebelum pengadilan, mengembalikan dominus litis kepada penuntut umum, dan menjamin diskresi jaksa untuk menghentikan perkara demi kepentingan umum. Dan ini semua harus dilakukan secara layak. Perubahan-perubahan ini akan berimbas pada aktor lainnya dalam sistem peradilan pidana.

Norma hukum baik dalam hukum acara maupun dalam praktik telah berkembang dan berubah, sesuai dengan kepentingan rezim yang berkuasa. Budaya militer jaksa, yang berasal dari era Orde Baru, mempengaruhi cara penuntut umum mengartikan KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981). Salah satu misalnya adalah menafsirkan penghentian perkara demi kepentingan umum. Diskresi ini jarang dipakai, dan biasanya hanya untuk perkara yang berdampak serius pada pemerintah. Akibatnya, hampir semua perkara pidana dari kepolisian dilanjutkan jaksa ke proses penuntutan. Akibatnya jelas, jumlah perkara pidana sangat banyak dan terjadi penumpukan di penjara/lembaga pemasyarakatan.

Tags:

Berita Terkait