DPD dan Yusril Kecewa Atas Putusan Uji Ambang Batas Pencalonan Presiden
Utama

DPD dan Yusril Kecewa Atas Putusan Uji Ambang Batas Pencalonan Presiden

MK semestinya tidak terlalu mempertahankan sikap dan pendapat lamanya yang telah dikritik banyak kalangan dan akademisi.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit

Menurutnya, MK seolah tidak mengakui eksistensi atau keberadaan DPD dan mengaburkan amanah konstitusi yang memberikan kewenangan legislasi kepada lembaga perwakilan daerah itu. Dia menilai uji materil Pasal 222 UU 7/2017 bentuk koreksi atau reaksi double check terhadap produk UU yang dilahirkan DPR dan pemerintah. Karenanya, sebagai konsekuensi logis dari posisi lembaga DPD yang merupakan lembaga legislatif kedua dalam sistem ketatanegaraan Indonesia mengkoreksi produk hukum yang diterbitkan DPR dan pemerintah.

Senator asal Bengkulu itu menilai, dalil MK yang menyebut presidential threshold 20 persen upaya konstitusional dalam memperkuat sistem presidensial dalam sistem demokrasi Indonesia menjadi argumentasi yang tidak berdasar. Malahan cenderung membiarkan status quo yang disebut oleh banyak pakar sebagai "demokrasi cacat" Indonesia saat ini. Baginya, demokrasi konstitusional Indonesia seperti yang tersurat dan tersirat pada sila ke-4 pada prinsipnya tidak relevan dengan sistem presidensialisme yang dijadikan logika hukum hakim MK.

Dengan kata lain, presidential threshold 20 persen menjadikan mekanisme check and balances yang menjadi indikator demokrasi yang sehat, malah tidak terwujud secara seimbang. Faktanya, mekanisme politik kekuasaan koalisional cenderung transaksional. “Secara common sense, dalam praktik transaksi politik, tentu selalu akan melibatkan pasar atau pemodal,” katanya.

Sebagaimana diketahui, MK dalam pertimbangan putusan No.52/PUU-XX/2022 menyebutkan syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden adalah konstitusional. Sedangkan besaran persentase presidential threshold menjadi open legal policy pembentuk UU. Mahkamah tetap berpihak pada perlunya penguatan sistem pemerintahan presidensial berdasarkan konstitusi.

“Sehingga dapat mewujudkan pemerintahan yang efektif,” ujar Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusannya, Kamis (7/7/2022) pekan lalu.

Mahkamah berpendapat, pemilu presiden dan wakil presiden perlu dirancang untuk mendukung penguatan sistem pemerintahan presidensial. Tak hanya terkait legitimasi Presiden dan Wakil Presiden terpilih, tapi juga dalam hubungannya dengan institusi DPR. Dengan demikian, bakal mendorong efektivitas proses-proses politik di DPR menjadi lebih sederhana dan efisien dalam kerangka checks and balances secara proporsional.

“Dalam kerangka tersebut, adanya syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik menjadi salah satu cara untuk menyeimbangkan hubungan Presiden dengan DPR secara proporsional dalam sistem pemerintahan presidensial.”

Tags:

Berita Terkait