DPD Kritisi Aturan Penyelenggaraan Haji dan Umrah dalam RUU Cipta Kerja
Berita

DPD Kritisi Aturan Penyelenggaraan Haji dan Umrah dalam RUU Cipta Kerja

Baleg DPR belum masuk pembahasan ketentuan dalam UU 8/2019 yang terdampak dari RUU Cipta Kerja. Nantinya, masukan berbagai elemen masyarakat termasuk DPD menjadi pertimbangan dalam pembahasan.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Gedung DPR. Foto: Hol
Gedung DPR. Foto: Hol

Arah politik Dewan Perwakilan Daerah (DPD) nampaknya berubah setelah menggelar rapat dengar pendapat umum dengan sejumlah pemangku kepentingan terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. Setelah sebelumnya DPD meminta DPR menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja ini dengan beberapa alasan. Kini, DPD bakal siap membahas RUU Cipta Kerja secara tripatrit bersama DPR dan pemerintah jika masa pandemi Covid-19 berakhir.  

 

“Secara subtansi Komite III DPD siap melakukan pembahasan bersama dengan DPR dan pemerintah atau tripatrit terhadap RUU Cipta Kerja dan tentunya pembahasan dapat dilakukan setelah pandemi Covid-19 berakhir,” ujar Wakil Ketua Komite III DPD Evi Apita Maya melalui keterangannya kepada wartawan, Kamis (7/5/2020). (Baca Juga: Alasan DPD Minta DPR Hentikan Pembahasan RUU Cipta Kerja)

 

Namun, DPD tetap menolak keberadaan klaster ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja karena mengabaikan perlindungan dan kesejahteraan bagi kalangan pekerja/buruh. Sedangkan klaster lain, DPD tetap menyerap masukan berbagai pemangku kepentingan. Salah satunya, UU No.8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah yang juga turut terdampak RUU Cipta Kerja.

 

Evi menerangkan terdapat poin masukan dari Rabithah Haji Indonesia. Seperti Pasal 75 RUU Cipta Kerja yang intinya mengubah sejumlah pasal dalam UU 8/2019. Secara substansi rumusan norma penyelenggaraan ibadah haji khusus (PIHK) dan penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah (PPIU) dalam RUU Cipta Kerja tak memberi penguatan dalam perbaikan penyelenggaraan ibadah haji dan umrah. Sebab, dalam RUU Cipta Kerja hanya menyoal beberapa aspek semata, seperti aspek pelaporan, pembukaan kantor cabang PIHK dan PPIU.

 

Kemudian perubahan ancaman pidana menjadi sangat administratif. Bahkan adanya tendesius keberpihakan pada dunia usaha semata. Sedangkan aspek kewajiban PPIU melaporkan ke pemerintah pusat bukan kepada kantor wilayah agama setempat dianggap tidak efektif dan efisien. Bahkan berpotensi menimbulkan birokrasi baru karena banyak PPIU yang berdomisili perusahaanya di Jakarta.

 

Senator asal Nusa Tenggara Barat (NTB) itu menilai RUU Cipta Kerja hanya sebatas memberi kemudahan perizinan berusaha serta kemudahan dan persyaratan investasi kepada PPIU dan PPIH. Namun, tidak adanya ketegasan dalam pemberian norma perlindungan bagi hak-hak calon jamaah haji dan umrah yang dilaksanakan oleh PPIU dan PPIH.

 

Bagi Evi, pemikiran mengubah sanksi dari pidana menjadi hukuman administratif dipandang tidak tepat. Bahkan memberi peluang terbuka bagi PIHK dan PPIU melakukan dan mengulang kejahatan serupa terhadap jamaah umrah. Seharusnya, pinta Evi, penyusunan RUU Cipta Kerja  melalui metode omnibus law ini sanksi pidananya lebih diperberat hukumannya agar berefek jera kepada pelaku usaha bidang haji dan umrah, bukan sebaliknya melemahkan yang sudah ada.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait