DPR Diminta Bersikap Kritis, Objektif Atas Terbitnya Perppu Cipta Kerja
Terbaru

DPR Diminta Bersikap Kritis, Objektif Atas Terbitnya Perppu Cipta Kerja

Yang ujungnya memberi sikap menolak menyetujui Perppu tersebut, sehingga harus dicabut karena Perppu 2/2022 constitutionally invalid atau cacat secara konstitusional. Ada kontradiktif atau keanehan antara bunyi Pasal 185 dengan Pasal 184 huruf b Perppu Cipta Kerja.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
Wakil Presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI) TM Luthfi Yazid. Foto: Hol
Wakil Presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI) TM Luthfi Yazid. Foto: Hol

Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang mencabut UU No.11 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi ‘kado’ mengagetkan bagi publik di penghujung akhir tahun 2022. Sebab, pemerintah dianggap mengabaikan Putusan Mahkamah Konstitusi No.91/PUU-XVIII/2020 yang mengamanatkan pembentuk UU agar memperbaiki secara formil UU Cipta Kerja dalam waktu 2 tahun. 

Wakil Presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI) TM Luthfi Yazid berpandangan amanat putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 yang memberikan tenggat waktu dua tahun agar pemerintah dan pembentuk UU melakukan perbaikan UU 11/2020 serta tidak menerbitkan peraturan pelaksana apapun yang bersifat strategis harus dipatuhi. Sebab, putusan MK menjadi norma baru sebagai positif legislatif yang harus dipatuhi sebagai hukum.

“Kemudian, muncul beberapa pertanyaan, apakah putusan MK yang disebut dengan the guardian of the constitution tersebut, dilaksanakan? Nyatanya, Presiden Joko Widodo, justru memberi ‘kado tahun baru’ dengan mengeluarkan Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja,” ujarnya melalui keterangan tertulisnya kepada Hukumonline, Senin (2/1/2-2023).

Dia menilai dalam bagian pertimbangan Perppu 2/2022 huruf f mendalilkan penerbitan Perppu dalam rangka melaksanakan putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020. Sementara pada pertimbangan huruf g dan h, disebutkan alasan adanya dinamika global dengan beberapa sebab. Seperti, terjadinya harga energi dan harga pangan, perubahan iklim (climate change), serta terganggunya rantai pasokan (supply chain) yang telah menyebabkan terjadinya penurunan pertumbuhan ekonomi dunia dan terjadinya kenaikan inflasi yang akan berdampak secara signifikan kepada perekonomian nasional.

Baca Juga:

Oleh pemerintah, keadan tersebut dianggap telah memenuhi parameter sebagai hal ihwal ‘kegentingan memaksa’ yang memberikan kewenangan bagi presiden untuk menerbitkan Perppu sebagaimana diatur dalam Pasal 22 (1) UUD 1945. Bagi Lutfhi, pertimbangan yang dijadikan alasan dalam Perppu 2/2022 perlu ditelaah apakah telah memenuhi persyaratan hal ihwal ‘kegentingan memaksa’.

Menurutnya, dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 pada bagian menimbang, menyebutkan bahwa Perppu dapat dikeluarkan apabila memenuhi tiga syarat atau kategori. Pertama, adanya keadaan, kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU. Kedua, UU yang dibutuhkan belum ada, sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada tetapi tidak memadai. Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memakan waktu yang cukup lama. Sedangkan keadaan yang mendesak perlu kepastian untuk diselesaikan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait