DPR Diminta Bersikap Kritis, Objektif Atas Terbitnya Perppu Cipta Kerja
Terbaru

DPR Diminta Bersikap Kritis, Objektif Atas Terbitnya Perppu Cipta Kerja

Yang ujungnya memberi sikap menolak menyetujui Perppu tersebut, sehingga harus dicabut karena Perppu 2/2022 constitutionally invalid atau cacat secara konstitusional. Ada kontradiktif atau keanehan antara bunyi Pasal 185 dengan Pasal 184 huruf b Perppu Cipta Kerja.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit

“Dari ketiga syarat yang disebutkan MK pada putusannya tersebut, maka perlu dikritisi, termasuk ‘kegentingan memaksa’ yang mana dalam Perppu 2/2022 ini? Atau mungkin karena faktor ekonomi nasional,” ujarnya.

Pria yang juga menjabat Vice Chairman Indonesian PhD Council (IPC)/Dewan Doktor Hukum Indonesia itu berpendapat bila persoalan ekonomi nasional menjadi alasan mendesak, tapi pemerintah kerapkali menyatakan ekonomi nasional dalam kondisi kokoh dan surplus, hal ini merupakan hal yang kontra produktif. Kemudian mengacu Pasal 185 Perppu 2/2022 menyebutkan dengan berlakunya Perppu 2/2022, maka UU 11/2020 dicabut dan tidak berlaku.

Tapi, menurutnya terdapat keanehan dalam Pasal 184 huruf b Perppu 2/2022 yang menyebutkan, “Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini”.

Ia melihat dari rumusan Pasal 185 dan Pasal 184 huruf b terdapat pertentangan alias kontra produktif. Setidaknya, upaya short-cut dan by-pass dengan menerbitkan Perppu malah menimbulkan banyak pertanyaan. Apalagi publik paham betul Perppu terkait dengan kehidupan masyarakat luas. Karenanya, sambung Luthfi, terbitnya Perppu 2/2022 yang kontroversial boleh jadi malah upaya menghindari meaningful participation, partisipasi publik, dan batas akhir perbaikan Cipta Kerja pada bulan November 2023.

“Sebab, jika sampai November 2023 belum ada revisi atau putusan MK tidak dijalankan, maka yang akan terjadi adalah UU Cipta Kerja inkonstitusional permanen.”

Luthfi mengakui konstitusi memberi kewenangan presiden menerbitkan Perppu sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD Tahun 1945. Tapi, Perppu yang diterbitkan presiden harus mendapat persetujuan DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (2) UUD Tahun 1945. Sementara bila tidak mendapat persetujuan DPR, maka Perppu pun mesti dicabut sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (3) UUD Tahun 1945.

“Tetapi, apakah situasi sekarang memenuhi syarat untuk dikeluarkannya Perppu? Apakah landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis terpenuhi untuk dikeluarkannya Perppu atau sepenuhnya merupakan

Tags:

Berita Terkait