DPR Sahkan RUU Kesehatan
Berita

DPR Sahkan RUU Kesehatan

RUU Kesehatan mengizinkan praktek aborsi bagi wanita hamil korban perkosaan.

Fat
Bacaan 2 Menit
DPR Sahkan RUU Kesehatan
Hukumonline

Melalui Rapat Paripurna, Senin (14/9), DPR akhirnya mengesahkan RUU Kesehatan. Dalam Pandangan akhirnya, Komisi IX Ribka Tjiptaning mengatakan RUU Kesehatan ini merupakan inisiatif dari DPR yang diajukan sejak tahun 2003. RUU ini diajukan karena substansi undang-undang yang lama dinilai sudah tidak pas dengan perkembangan zaman yang makin canggih teknologinya.

 

Selain itu, ada beberapa substansi baru yang dinilainya tidak ada dalam UU Kesehatan yang lama. Salah satunya dicantumkannya ketentuan mengenai aborsi, kata Ribka.

 

Ia menjelaskan, dalam undang-undang ini ada dua kondisi dimana seseorang dapat melakukan aborsi. Pertama, karena adanya indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan. Kedaruratan ini juga mengancam nyawa ibu dan janin atau menderita penyakit genetik berat dan cacat bawaan. Sehingga semuanya tidak bisa diperbaiki lagi hanya dengan mengorbankan salah satu di antaranya, nyawa ibu atau si cabang bayi.

 

Kedua, kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Namun, sebelum melakukan aborsi, korban perkosaan yang telah hamil tersebut harus melalui konseling pra tindakan dan pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor berkompeten dan berwenang. Ukurang berkompeten dan berwenang ini terlihat bahwa orang tersebut telah memiliki sertifikat sebagai konselor melalui pendidikan dan pelatihan.

 

Yang dapat menjadi konselor adalah dokter, psikolog, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan setiap orang yang mempunyai minat dan memiliki keterampilan untuk itu, ujar Politisi PDIP ini.

 

Pasal 75

(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi

(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:

     a. Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam

         nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan,

         maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar

         kandungan; atau

     b. Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban

         perkosaan;

(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui

      konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan

      yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana

     dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

 

Selain itu, aborsi karena diperkosa ini dapat dilakukan, jika usia kehamilan belum berumur enam minggu terhitung dari hari pertama haid terakhir. Sementara, aborsi dalam hal kedaruratan medis boleh lebih dari enam minggu usia kehamilannya. Aborsi juga bisa dilakukan dengan persetujuan dari si ibu hamil, dengan meliputi izin suami bagi yang punya dan telah memenuhi syarat kesehatannya yang telah ditetapkan oleh menteri yang bersangkutan.

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah, katanya.

 

Dalam Rapat Paripurna, juga sempat muncul penolakan atas dimasukkannya persoalan aborsi dalam RUU. Fraksi yang menolak adalah F-PDS dan F-PBR. Meskipun pada akhirnya setuju, namun kedua fraksi memberi catatan bahwa substansi hamil akibat diperkosa tidak bisa diterima untuk melakukan aborsi, karena  dinilai dapat membahayakan hidup ibu hamil atau si cabang bayi. Tapi terkait indikasi kedaruratan medis, aborsi dapat diterima.

 

Menteri Hukum dan HAM Andi Matalatta menyambut baik perubahan substansi yang disampaikan oleh Komisi IX. Perubahan yang terjadi pada substansi UU Kesehatan merupakan pembangunan kesehatan yang akan dicanangkan oleh pemerintah ke depan. Maka itu, tanggung jawab pemerintah merupakan kewajiban yang mesti dijalankan.

 

Mengenai aborsi, pihaknya mengapresiasi langkah yang telah disepakati pemerintah dan DPR. Menurutnya, aborsi adalah tindakan medik tertentu yang harus dipikirkan lebih jauh sebelum seseorang melakukannya, karena dapat membahayakan ibu hamil dan janin. Untuk mengantisipasi, substansi aborsi yang dikecualikan tersebut usia kehamilan harus sekurang-kurangnya enam minggu.

 

Aturan mengenai waktu enam minggu ini tercantum dalam undang-undang, ujarnya saat menyampaikan pandangan akhir pemerintah dalam Rapat Paripurna, Senin (14/9), di Kompleks Parlemen Jakarta.

Tags: