Dua Hal yang Luput dari Reformasi TNI
Berita

Dua Hal yang Luput dari Reformasi TNI

Reformasi Peradilan Militer jantungnya reformasi TNI.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
 Aparat TNI ikut turun tangan menangani teror ledakan di kawasan Sarinah, Thamrin, Kamis (14/1). Untuk mengamankan lokasi, TNI mengerahkan kendaraan tank lapis baja.
Aparat TNI ikut turun tangan menangani teror ledakan di kawasan Sarinah, Thamrin, Kamis (14/1). Untuk mengamankan lokasi, TNI mengerahkan kendaraan tank lapis baja.
Reformasi Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi salah satu agenda penting yang didorong masyarakat pasca gerakan reformasi. Wujudnya antara lain pencabutan dwifungsi ABRI, restrukturisasi Komando Teritorial (koter) dan reformasi peradilan militer.

Koalisi masyarakat sipil untuk reformasi sektor keamanan mencatat dari proses reformasi militer yang bergulir sampai hari ini hanya dwi fumgi ABRI yang berhasil dicabut. Wakil Direktur Imparsial, Gufron Mabruri, mengatakan ada dua tuntutan reformasi terhadap militer yang belum dilakukan sampai saat ini yaitu restrukturisasi Koter dan reformasi peradilan militer. "18 tahun reformasi bergulir, tapi reformasi militer stagnan," katanya dalam jumpa pers yang digelar Imparsial di Jakarta, Selasa (04/10).

Gufron berpendapat pencabutan dwifungsi mestinya ditindaklanjuti dengan restrukturisasi koter. Di masa Orde Baru, koter seperti kodam, korem, dan kodim bersifat politis; fungsinya sebagai instrumen pendukung kekuasaan Orde Baru. Koter menjadi alat kontrol terhadap masyarakat, merepresi kelompok demokratik yang menentang rezim saat itu.

Kini koter malah berkembang mengikuti pemekaran daerah provinsi dan kabupaten /kota. Padahal selain mandat reformasi restrukturisasi koter menurut Gufron diamanatkan UU No.  34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia )UU TNI).

Penjelasan Pasal 11 ayat (2) UU TNI menyebut dalam pelaksanaan pergelaran kekuatan TNI, harus dihindari bentuk-bentuk organisasi yang dapat menjadi peluang kepentingan politik praktis dan pergelarannya tidak selalu mengikuti struktur administrasi pemerintah. Sayangnya, amanat itu belum dilaksanakan sehingga koter masih berpeluang digunakan sebagai instrumen politik terutama pada saat elektoral seperti Pemilu dan Pilkada.

Reformasi peradilan militer juga dinilai belum berjalan seperti diinginkan. Berkali-kali muncul keinginan merevisi UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer tapi tak pernah selesai. "Ini jantung reformasi TNI, selama peradilan militer tidak direformasi selama itu reformasi TNI belum selesai," ujarnya.

Deputi Direktur Elsam, Wahyudi Djafar, menilai mandeknya pembahasan revisi UU Peradilan Militer menunjukkan Pemerintah dan DPR tidak punya peta jalan yang jelas untuk mereformasi TNI. Ia menyayangkan sikap pemerintah khususnya Kementerian Pertahanan yang tidak melanjutkan reformasi TNI tapi malah mengusulkan RUU yang indikasinya mengembalikan kekuatan militer seperti masa orba lewat RUU Rahasia Negara dan RUU Keamanan Nasional.

Selain itu Wahyudi mencermati konflik antara Polri dan TNI di lapangan. Ia mencatat sedikitnya ada 38 kejadian. Persoalan itu membuktikan belum ada aturan yang jelas soal pembagian tugas antara Polri dan TNI misalnya tugas perbantuan.

Wahyudi mengingatkan UU Polri dan UU TNI mengamanatkan Pemerintah dan DPR untuk membuat aturan mengenai tugas perbantuan. Meskipun UU Polri diterbitkan tahun 2002 dan UU TNI tahun 2004, tapi sampai sekarang regulasi yang mengatur tentang tugas perbantuan sampai sekarang belum ada. "Saya menyebut reformasi TNI jalan di tempat," tukasnya.
Tags:

Berita Terkait