Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) kembali menggelar sidang perkara dugaan kartel minyak goreng pada Senin (6/2) lalu, di kantor KPPU. Adapun agenda sidang kali ini adalah mendengarkan keterangan saksi ahli dari pihak Terlapor, yaitu ekonom Universitas Indonesia, Vid Adrison.
Dalam keterangannya, Vid menilai bahwa kelangkaan minyak goreng yang terjadi pada tahun 2022 silam disebabkan oleh kebijakan pemerintah mengintervensj pasar dengan menerapkan Harga Eceran Tertinggi (HET), dan tidak berkaitan dengan kartel.
“Ketika pemerintah menetapkan HET yang jauh di bawah harga produksi, berarti pemerintah memaksa produsen untuk menjual rugi. Siapa yang mau merugi? Jadi, pilihan yang masuk akal adalah menghentikan produksi,” ujarnya.
Baca Juga:
- KPPU Mulai Lakukan Penegakan Hukum atas Penjualan Bersyarat Minyakita di Wilayah
- Melanggar dalam Penjualan Minyak Goreng, PT LBS Ajukan Perubahan Perilaku ke KPPU
Vid mengakui, pemerintah memang menjanjikan penggantian selisih harga (refraksi) kepada pelaku usaha. Namun, bagi pelaku usaha, hal itu tidak serta merta memberikan jaminan kepastian. Dia menilai, perlu dilihat seberapa besar selisih harga yang akan dibayarkan pemerintah kepada pelaku usaha.
“Seandainya biaya penggantian yang dibayarkan bisa menutupi ongkos produksi, tetap perlu dilihat dalam jangka berapa lama akan dibayarkan. Apakah satu bulan, enam bulan atau kapan? Ini menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku usaha,” tutur Vid.
Menurut Vid, masalah kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng murni disebabkan kebijakan pemerintah mengintervensi pasar dengan mengeluarkan peraturan yang berubah-ubah yang justru tidak efektif dan menimbulkan ketidakpastian. Ketimbang mengatur harga, pemerintah seharusnya mengambil kebijakan untuk menjaga daya beli masyarakat melalui program bantuan langsung tunai (BLT).