Dualisme Hukum Pencatatan Perkawinan dan Perlindungan Anak
Kolom

Dualisme Hukum Pencatatan Perkawinan dan Perlindungan Anak

Kebijakan SPTJM dinilai sangat bermanfaat dalam melindungi status hukum anak yang lahir dari perkawinan tidak tercatat.

Bacaan 5 Menit

Kebijakan terkait SPTJM perkawinan belum tercatat ini menuai kontroversi. Kebijakan tersebut menimbulkan internal incompatibility (ketidaksesuaian antar ketentuan hukum dalam sebuah sistem hukum), yaitu antara kewajiban pencatatan perkawinan dalam Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan untuk mewujudkan ketertiban administrasi dan kepastian hukum pada satu sisi, dan pengakuan atas perkawinan siri (tidak tercatat) secara formal oleh negara pada sisi lain, yang tentu dikhawatirkan akan mendorong semakin maraknya perkawinan siri. Dengan pencantuman status perkawinan dalam KK sebagai kawin belum tercatat dan status perkawinan dalam KTP sebagai kawin, maka negara telah mengakui perkawinan tidak tercatat secara formal.

Kebijakan SPTJM perkawinan belum tercatat sebagai salah satu persyaratan pencantuman status perkawinan dalam KK ini bertujuan untuk mengoptimalkan perlindungan atas status hukum anak yang lahir dari perkawinan tidak tercatat. Sehingga apabila pasangan tidak memiliki buku nikah, cukup membuat tambahan SPTJM kebenaran sebagai pasangan suami istri, dan anak yang lahir dari pasangan tersebut dapat dicantumkan dalam Akta Kelahiran sebagai anak dari Ibu kandung dan Ayah kandung yang perkawinannya belum tercatat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Selain itu, dari perspektif kepentingan administratif, kebijakan SPTJM perkawinan belum tercatat ini memungkinkan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum atas setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami oleh penduduk secara menyeluruh dan tidak diskriminatif.

Namun, di sisi lain, kebijakan SPTJM perkawinan belum tercatat telah mereduksi peran negara dalam mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum bagi warga negara dalam hal perkawinan. Karena meski terdata secara administrasi, perlindungan hukum atas perkawinan tidak tercatat masih lemah, dan akan sangat merugikan bagi kelompok rentan, dalam hal ini perempuan dan anak.

Ketika berhadapan dengan hukum, tetap diperlukan alat bukti perkawinan menurut hukum, yaitu akta nikah atau buku nikah, bukan KK atau KTP. Jika tidak, maka tidak ada landasan hukum untuk mengajukan tuntutan atas hak-hak yang timbul akibat perkawinan (legal standing) maupun melakukan pelaporan atas perbuatan tindak pidana KDRT. Oleh karena itu, pasangan perkawinan tidak tercatat masih perlu mengajukan pengesahan nikah ke pengadilan agama untuk memperoleh kekuatan hukum atas perkawinan yang telah terjadi.

Dalam proses litigasi atas pengesahan nikah, syarat dan rukun perkawinan menjadi objek pemeriksaan, dan bukan hanya sekadar mendengarkan keterangan saksi yang mengetahui terjadinya perkawinan, seperti dalam pembuatan SPTJM perkawinan belum tercatat. Apabila perkawinan yang terjadi telah memenuhi syarat dan rukun perkawinan, pengadilan akan menetapkan perkawinan yang belum tercatat tersebut sebagai perkawinan sah dan memiliki kekuatan hukum. Berdasarkan penetapan pengadilan atas pengesahan perkawinan tersebut, kemudian dapat diterbitkan akta nikah atau buku nikah sebagai bukti perkawinan.

Selain itu, meski tercantum status perkawinan dalam KK sebagai kawin belum tercatat, dan dalam KTP sebagai kawin, apabila seorang laki-laki melakukan perkawinan tidak tercatat, laki-laki tersebut tidak akan terhalang secara hukum untuk melakukan perkawinan tidak tercatat lagi hingga sebanyak empat orang istri dalam waktu yang sama. Hal ini karena tidak memerlukan izin dari pengadilan agama, bahkan dapat melebihi empat orang istri karena untuk menikah siri tidak akan dilakukan verifikasi dan validasi data atas status perkawinan dalam KTP pelaku perkawinan siri, kecuali jika kemudian pelaku akan melakukan perkawinan secara tercatat di hadapan Pegawai Pencatat Nikah. Dalam hal ini, negara baru memiliki kontrol atas perkawinan yang telah dan akan dilakukan oleh seorang warga negara.

Dualisme hukum dalam perkawinan sah di Indonesia menunjukkan bahwa hubungan antara agama dan negara belum selesai, masih ada ketegangan otoritas yang terjadi dalam hal penafsiran atas perkawinan sah. Kondisi yang demikian telah menimbulkan ambiguitas dalam penegakan hukum di bidang hukum keluarga, antara akibat hukum perkawinan sah menurut agama dan perkawinan sah menurut hukum agama dan hukum negara. Namun demikian, kebijakan SPTJM sangat bermanfaat dalam upaya perlindungan status hukum anak yang lahir dari perkawinan tidak tercatat dan hak-hak anak yang timbul sebagai akibat hubungan nasab anak yang lahir dari perkawinan tidak tercatat dengan ayahnya.

*)Muhamad Isna Wahyudi, Wakil Ketua Pengadilan Agama Pelaihari Kelas IB, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan, dan alumni Program Studi Hukum Islam Konsentrasi Hukum Keluarga Sekolah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait