Eksekutif Sering Malakonstitusi, Yusril: Perlu Ada Constitutional Complaint
Berita

Eksekutif Sering Malakonstitusi, Yusril: Perlu Ada Constitutional Complaint

Konsekuensi negara hukum tidak boleh ada tindakan pemerintah dan lembaga lain yang bertentangan dengan hukum yang berpuncak pada konstitusi.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit


Menurutnya, kritik dalam penelitian ini dimaksudkan agar semua penyelenggara negara harus benar-benar memahami dan mematuhi nilai-nilai UUD 1945 sebagai hukum tertinggi di Indonesia. “Bagaimana kalau tidak patuh pada ‘panglima tertinggi’, bawahannya akan jalan sendiri-sendiri. Sejatinya, yang memimpin kita adalah konstitusi,” tegasnya.
 
Hal senada disampaikan pengamat hukum tata negara, Margarito Kamis.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate ini mengatakan hasil penelitian ini bisa dijadikan masukan positif bagi semua penyelenggara negara. “Konsekuensi negara hukum tidak boleh ada tindakan pemerintah dan lembaga lain yang bertentangan dengan hukum yang berpuncak pada konstitusi,” kata Margarito.  

Constitutional complaint 
Sementara Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan hasil penelitian itu membuktikan perlunya mekanisme constitutional complaint untuk mengadili setiap kebijakan/tindakan penyelenggara negara yang disinyalir melanggar hak-hak warga negara. Namun, hingga kini MK belum memiliki kewenangan mengadili perkara constitutional complaint, seperti MK Jerman.    

“Ke depan, MK seharusnya diberi kewenangan mengadili dan memutus perkara constitutional complaint, sehingga pelanggaran konstitusi yang dilakukan penyelenggara negara bisa diatasi MK,” saran Yusril.     

Namun, Margarito menganggap ide constitutional complaint belum perlu karena tidak efisien terutama bagi daerah-daerah terpencil. Misalnya, apabila masyarakat Papua, Ambon, Ternate, Kuantan Singgingi merasa dirugikan akibat kebijakan/tindakan pemerintah/pemerintah daerah apa harus mempersoalkan ke MK. “Berapa besar biaya yang harus dikeluarkan untuk ke MK Jakarta? Jelas tidak efisien,” katanya.       

Untuk itu, dia menyarankan setiap tindakan malakonstitusi penyelenggara negara bisa diputuskan lewat Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sebab, setiap kebijakan/tindakan penyelenggara negara yang bersifat umum bisa menjadi objek sengketa di PTUN sepanjang bertentangan hukum dan konstitusi. Menurutnya, setiap tindakan penyelenggara negara bisa bersifat aktif dan pasif.    

“Bersifat aktif ini bisa diperluas keragamannya, tidak hanya beschikking (keputusan TUN), regulasi atau kebijakan (regeling) sekalipun asal bertentangan hukum diatasnya termasuk konstitusi dimungkinkan jadi objek TUN. Jadi, masyarakat yang dirugikan bisa saja menggugat ke PTUN,” imbuhnya.      
Tags:

Berita Terkait