Eksistensi Pembatalan Putusan Arbitrase Nasional di Indonesia: Oksimoron?
Kolom

Eksistensi Pembatalan Putusan Arbitrase Nasional di Indonesia: Oksimoron?

Perlindungan terhadap para pihak yang menyelesaikan sengketanya melalui arbitrase sebaiknya tidak berupa pembatalan, sebab akan menghapuskan karakteristik final-binding dan kerahasiaan-kecepatan.

Muhamad Dzadit Taqwa (kiri) dan Anangga Roosdiono (kanan). Foto: Istimewa
Muhamad Dzadit Taqwa (kiri) dan Anangga Roosdiono (kanan). Foto: Istimewa

Berdasarkan data yang direkap oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sampai tahun 2021 akhir, hampir setiap sengketa yang telah diselesaikan melalui BANI, ada pihak yang mengajukan upaya pembatalan. Dalam banyak upaya tersebut, alasan yang paling umum adalah adanya tipu muslihat yang dilakukan oleh majelis arbitrase dengan pihak lawannya. Ada putusan yang diterima pembatalannya oleh Pengadilan Negeri dan juga dikuatkan oleh Mahkamah Agung dan ada juga yang sedari awal ditolak oleh Pengadilan Negeri.

Di satu sisi, upaya peninjauan atas aspek formil dalam putusan arbitrase ini dibutuhkan sebagai mekanisme perlindungan terhadap pihak yang dicurangi dalam proses berarbitrase. Di sisi lain, eksistensi upaya tersebut menimbulkan implikasi-implikasi bagi Badan Arbitrase dan bahkan arbitrase itu sendiri, yakni: perlu dipertanyakannya sifat serta-merta (final) dan mengikat (binding) dari sebuah putusan arbitrase (Pasal 60 UU 30/1999 tentang Arbitrase (UU Arbitrase)); hilangnya kelebihan-kelebihan dalam berarbitrase, yakni aspek kerahasiaan dan kecepatan (Penjelasan Umum UU Arbitrase); dan perlu dipertanyakannya status arbitrase sebagai proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Apakah upaya pembatalan masih harus dipertahankan eksistensinya?

Baca juga:

Dasar Pembatalan Putusan Arbitrase Nasional

Ada dua pandangan di Indonesia terkait dasar pembatalan. Pandangan pertama merujuk secara tekstual pada ketentuan yang ada di dalam Pasal 70 UU Arbitrase, dimana secara limitatif – karena digunakannya term “sebagai berikut” – ditentukan adanya tiga dasar pembatalan: dokumen yang palsu, dokumen yang disembunyikan, dan tipu muslihat (Pasal 70 UU Arbitrase).

Sementara pandangan kedua memperhatikan Penjelasan Umum UU Arbitrase yang menggunakan term “antara lain” atau inter-alia sebagai dasar untuk mengatakan bahwa dasar pembatalan tidak hanya disempitkan pada tiga hal yang disebutkan dalam Pasal 70 UU Arbitrase, sehingga tidak ada batasan yang definitif, dan pandangan ini menjadikan dasar pembatalan tidak terbatas pada aspek formil (Penjelasan Umum Alinea ke-18 UU Arbitrase).

Keduanya dapat diperhatikan dari berbagai putusan Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung, dimana masing-masing pandangan ada yang menerapkannya. Meskipun demikian, ketentuan yang ada di dalam Batang Tubuh merupakan ketentuan yang mengikat, bila dibandingkan dengan Penjelasan, dan rezim normatif yang harus ditaati oleh Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung, sehingga dasar pembatalan hanya mencakup aspek formil pembuktian dalam berarbitrase.

Raison d’etre Pembatalan Putusan Arbitrase Nasional

Dalam UU Arbitrase, tidak disebutkan mengapa upaya pembatalan diadakan dalam sistem arbitrase di Indonesia. Sebagai sebuah mekanisme yang cukup mirip – walaupun terfokus pada aspek formil putusan – dengan bentuk peninjauan kembali suatu produk hukum, kami melihat ada kesamaan alasan eksistensi di antara keduanya.

Tags:

Berita Terkait