Pemerintah Bebaskan Bea Meterai untuk Empat Jenis Dokumen Ini
Terbaru

Pemerintah Bebaskan Bea Meterai untuk Empat Jenis Dokumen Ini

Sebelumnya, UU Bea Meterai turut mengatur dokumen yang wajib menggunakan meterai dan bebas meterai. Lalu dokumen apa saja yang dibebaskan dalam PP 3/2022?

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Pemberian Fasilitas Pembebasan dari Pengenaan Bea Meterai. Beleid ini diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Neilmaldrin Noor mengatakan peraturan ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum. “Peraturan Pemerintah ini disusun sedemikian rupa untuk memberi kepastian hukum sehingga pihak yang dituju dapat memanfaatkan fasilitas pembebasan dari pengenaan Bea Meterai,” kata Neilmaldrin, Kamis (27/1).

Dalam PP 3/2022 ini terdapat empat jenis dokumen yang dibebaskan dari pengenaan Bea Meterai sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1). Pertama, dokumen yang menyatakan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dalam rangka percepatan proses penanganan dan pemulihan kondisi sosial ekonomi suatu daerah akibat bencana alam.

Bencana alam dimaksud adalah bencana alam yang telah mendapat status keadaan darurat bencana sesuai perundang-undangan yang meliputi proses siap siaga, tanggap darurat, dan transisi darurat ke pemulihan. Fasilitas pembebasan diberikan sesuai jangka waktu pelaksanaan program pemerintah untuk penanggulangan bencana alam.  (Baca Juga: Pikul Tanggung Jawab Besar, Kurator Tak Boleh Sembrono Tangani Perkara Kepailitan)

Kedua, dokumen yang menyatakan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan yang bersifat keagamaan atau sosial non-komersial. Pengalihan hak yang dimaksud dilakukan dengan cara wakaf, hibah atau hibah wasiat kepada badan keagamaan atau sosial, dan pembelian oleh badan keagamaan atau sosial.

Badan keagamaan yang dimaksud haruslah berbentuk badan hukum yang telah mendapat pengesahan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan terdata di Kementerian Agama, serta tidak mencari keuntungan dengan kegiatan utama mengurus tempat ibadah dan menyelenggarakan kegiatan keagamaan.

Sementara itu, badan sosial yang dimaksud adalah badan yang berbentuk badan hukum yang telah mendapat pengesahan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan terdaftar di Kementerian Sosial atau Dinas Sosial, serta tidak mencari keuntungan dengan kegiatan utamanya menyelenggarakan pemeliharaan orang lanjut usia, anak yatim/piatu, anak terlantar, anak penyandang disabilitas, penyandang disabilitas, santunan korban bencana alam, penanganan keterpencilan, penanganan korban tindak kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi, serta penanganan ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku.

Tags:

Berita Terkait