Empat Kritik LBH atas Rencana Peradilan Cepat Kasus Narkotika
Berita

Empat Kritik LBH atas Rencana Peradilan Cepat Kasus Narkotika

Karena berpotensi menghambat hak terdakwa untuk membela diri dan mendapat proses peradilan yang adil (fair trial).

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Ketiga, salah tangkap dan praktik pungutan liar (pungli). Willy mengatakan banyak terjadi praktik penjebakan (cepu) yang mengakibatkan terjadinya kasus salah tangkap dan pungli oleh aparat penegak hukum. Praktik seperti ini menyebabkan penyalahgunaan narkotika sukar mendapat rekomendasi rehabilitasi. Ini dapat mempengaruhi keputusan hakim yang memeriksa perkara, sehingga dalam putusannya nanti penyalahgunaan narkotika bukan ditempatkan ke panti rehabilitasi, tapi dijebloskan ke penjara.

 

Keempat, menambah masalah kelebihan muatan (overcrowding) rumah tahanan (rutan). Jika hukuman yang dijatuhkan kepada penyalahgunaan narkotika melalui pemeriksaan cepat ini mayoritas pidana penjara, Willy berpendapat akan menambah masalah yang saat ini dihadapi rutan/lapas antara lain overcrowding atau over kapasitas.

 

Willy memperkirakan setidaknya sepertiga dari seluruh narapidana di lapas/rutan seluruh Indonesia berasal dari pemidanaan kasus narkotika. Karenanya, dia menekankan kembali pendekatan yang digunakan untuk penyalagunaan narkotika seharusnya rehabilitasi ketimbang penjara. Hal ini selaras bunyi Pasal 54, Pasal 127, Pasal 128 UU Narkotika dan SEMA No.4 Tahun 2010.

 

Mengurungkan

Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana berharap Kejaksaan Agung mengurungkan rencana peradilan cepat kasus narkotika yang sewenang-wenang dan bertentangan dengan KUHAP serta prinsip peradilan yang adil ini. Komisi Kejaksaan perlu bertindak dengan memberi teguran keras dan evaluasi terkait rencana ini.

 

Penting juga bagi Mahkamah Agung (MA) memerintahkan seluruh hakim menolak pelaksanaan peradilan cepat untuk kasus narkotika yang menyalahi KUHAP dan prinsip fair trial. “Kejaksaan harus berbenah diri agar tidak lagi muncul ‘terobosan hukum’ yang justru kontraproduktif dengan upaya penegakan hukum pidana yang mengedepankan prinsip peradilan yang adil berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku,” ujarnya mengingatkan.

 

Pengajar hukum pidana Sekolah Tinggi Hukum (DTH) Indonesia Jentera, Miko Ginting mengatakan rencana ini harus dipertimbangkan secara matang sebelum dilaksanakan. Dia mengakui ada prinsip peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan. Dalam kovenan Sipol juga diatur mengenai peradilan cepat (speedy trial). Tapi peradilan cepat yang dimaksud bukan terburu-buru, tapi peradilan harus segera digelar sesuai kepentingan pemeriksaan.

 

Misalnya, seseorang ditangkap kemudian dilakukan pemeriksaan, tapi tidak bisa selesai dalam 10 hari karena harus membongkar jaringan atau karena sulit mencari barang bukti. Dalam kasus narkotika ini, Miko berpendapat penyelesaian kasus tidak boleh dipaksakan selesai dalam 10 hari. “Jadi tidak dipaksakan harus selesai dalam waktu singkat jika dipaksakan malah bertentangan dengan prinsip peradilan cepat,” kata Miko.

 

Miko mengingatkan jangan sampai dalih peradilan cepat membuat terdakwa tidak didengar keterangannya, sehingga tidak bisa memberi ruang pembuktian yang seimbang (fair trial). Sangat penting untuk menjamin hak terdakwa membela dirinya dari segala tuduhan. Jika peradilan cepat yang direncanakan itu memperhatikan prinsip itu, Miko berpandangan pelaksanaannya nanti bisa jadi positif untuk terdakwa dan pengadilan. “Tapi kalau prinsip fair trial itu tidak terpenuhi, bahaya,” katanya.

Tags:

Berita Terkait