Enam Catatan Koalisi untuk RUU Masyarakat Hukum Adat
Berita

Enam Catatan Koalisi untuk RUU Masyarakat Hukum Adat

Baleg sudah mencatat baik-baik pokok pikiran yang disampaikan Koalisi. Selanjutnya, Baleg akan melakukan pendekatan nonformal kepada pihak pemerintah untuk meminta masukan DIM dan agar bisa dilakukan pembahasan tingkat pertama.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Koalisi Masyarakat Sipil Pengawal Pembahasan RUU Masyarakat Hukum Adat saat memberi sejumlah masukan RUU di ruang Baleg DPR, Senin (24/9). Foto: RFQ
Koalisi Masyarakat Sipil Pengawal Pembahasan RUU Masyarakat Hukum Adat saat memberi sejumlah masukan RUU di ruang Baleg DPR, Senin (24/9). Foto: RFQ

Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Masyarakat Hukum Adat terus berlangsung di tingkat Badan Legislasi (Baleg) DPR. Dalam rangka memperkuat perumusan draf RUU, Koalisi Masyarakat Sipil Pengawal Pembahasan RUU Masyarakat Hukum Adat memberi sejumlah masukan. Ada sejumlah poin RUU yang menjadi perhatian Koalisi Masyarakat Sipil ini.

 

Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil Pengawal Pembahasan RUU Masyarakat Hukum Adat, Abdi Akbar mengatakan RUU tersebut tak lepas dari berbagai kekurangan yang mesti dikritisi dan diberi masukan para pemangku kepentingan. Baleg pun diminta agar menyampaikan surat ke pemerintah agar pemerintah dapat segera mengirimkan daftar inventarisasi masalah (DIM).

 

“Karena itu, pembahasan RUU ini harus dikawal organisasi masyarakat sipil,” ujar Abdi Akbar yang juga Direktur Perluasan Partisipasti Politik Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam rapat dengar pendapat umum dengan Baleg di Gedung DPR, Senin (24/9/2018). Baca Juga: RUU Masyarakat Hukum Adat Ditargetkan Rampung Sebelum Pemilu 2019

 

Perwakilan dari Persekutuan Perempuan Adat Nusantara, Mumtaza menilai terdapat beberapa poin RUU Masyarakat Hukum Adat yang perlu dikritisi. Pertama,  terkait judul RUU yang oleh Baleg diberikan nama “Masyarakat Hukum Adat”. Menurutnya, penggunaan istilah  “Masyarakat Hukum Adat”,  justru tidak mengakomodir masyarakat tradisional.

 

Sebaliknya, penggunaan istilah “Masyarakat Adat” justru bentuk penegasan istilah yang tertuang dalam konstitusi. Yakni ‘kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat’ sebagaimana tertuang dalam Pasal 18B ayat (2) dan ‘masyarakat tradisional’ termaktub dalam ketentuan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945. Penggunaan istilah masyarakat adat setidaknya mesti memenuhi tiga unsur. Yakni, adanya komunitas yang hidup dalam satu ikatan keturunan, adanya wilayah territorial, dan pranata aturan yang ditaati komunitasnya sebagai pedoman kehidupan mereka.

 

Kedua, proses registrasi atau pendaftaran. Dalam RUU memuat bab tentang pendaftaran masyarakat adat. Koalisi masyarakat mengusulkan agar mekanisme pendaftaran dilakukan secara sederhana dan efektif untuk menjamin ketepatan, kecepatan, bersifat administratif dan legitimate. Karena itu Koalisi, kata Mumtaza, mengusulkan agar Bab II tentang pengakuan diubah dengan Bab tentang Prosedur Pendaftaran Masyarakat Adat.

 

“Yang meliputi tahap identifikasi, verifikasi, dan pendaftaran,” dalihnya.

 

Ketiga, terkait dengan evaluasi dalam Bab III. Menurutnya, penyusun terkesan menyamakan pengakuan masyarakat hukum adat sebagai tindakan administratif perizinan dengan memberi kewenangan bagi pemberi izin setelah memenuhi berbagai persyaratan. Evaluasi, prinsipnya dilakukan untuk melihat seberapa jauh pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat yang telah memenuhi persyaratan.

Tags:

Berita Terkait