Equity Crowdfunding, Alternatif Pendanaan UMKM yang Layak Diperhitungkan
Kolom

Equity Crowdfunding, Alternatif Pendanaan UMKM yang Layak Diperhitungkan

Risiko terbesar bagi Pemodal Equity Crowdfunding dengan statusnya sebagai pemegang saham adalah kegagalan usaha Penerbit

Bacaan 7 Menit

Bila Penyelenggara melaksanakannya dengan baik proses ini akan meningkatkan pengetahuan dan literasi keuangan Pemodal atas investasi yang ingin dilakukannya, sebagaimana juga diamanatkan dalam ketentuan Pasal 57 POJK ECF. Tentunya semua harus dilakukan dengan tetap memperhatikan ketentuan dalam Pasal 17.d POJK ECF yang melarang Penyelenggara memberikan nasihat investasi dan/atau rekomendasi kepada Pemodal dan/atau calon Pemodal untuk berinvestasi pada Penerbit.

Kedua, sekalipun telah menentukan pilihan dengan tepat tetap ada kemungkinan Pemodal tidak puas dengan imbal hasil yang diperolehnya. Mengingat investasi dalam bentuk kepemilikan saham tidak memiliki jangka waktu tertentu maka satu-satunya jalan keluar bagi Pemodal adalah dengan menjual sahamnya kepada pihak ketiga. Ketiadaan pasar sekunder akan mempersulit Pemodal untuk melakukan hal tersebut. Jika saham yang dimilikinya tidak dapat dijual kembali maka Pemodal akan terpapar pada risiko likuiditas.

Berdasarkan Pasal 32 (1) POJK ECF Penyelenggara “dapat” menyediakan sistem bagi Pemodal untuk memperdagangkan saham Penerbit yang telah dijual melalui Layanan Urun Dana yang diselenggarakannya. Jadi saat ini tidak ada keharusan bagi Penyelenggara untuk menyediakan sistem tersebut. Agar Pemodal dapat memperdagangkan sahamnya dan memitigasi risiko likuiditas yang dihadapi, Penyelenggara perlu diwajibkan untuk menyediakan sistem perdagangan saham-saham yang dikelola melalui platformnya, bukan sekadar diizinkan. Untuk mendukung terselenggaranya perdagangan dengan baik, Penyelenggara juga perlu menyediakan harga wajar sebagai referensi dan menjadikan sistem tersebut sebagai sarana komunikasi antar Pengguna untuk membeli atau menjual saham.

Ketiga, Pasal 32(2) POJK ECF menyatakan bahwa perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan antar sesama Pemodal yang terdaftar pada Penyelenggara. Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai pengertian “sesama Pemodal yang terdaftar pada Penyelenggara”. Apabila menggunakan interpretasi yang sempit maka artinya perdagangan saham hanya boleh dilakukan dengan sesama pemegang saham dari Penerbit yang sama.

Namun apabila diinterpretasikan secara luas maka dapat berarti setiap Pemodal boleh memperdagangkan sahamnya dengan Pemodal dari Penerbit lain juga, sepanjang mereka terdaftar pada Penyelenggara yang sama. Interpretasi yang luas tentu dapat mengurangi risiko likuiditas dengan lebih baik karena Pemodal dapat menjangkau lebih banyak calon pembeli saat ingin menjual sahamnya.

Keempat, ketentuan dalam pasal 6 POJK ECF yang membatasi jumlah pemegang saham hingga 300 orang juga dapat membawa masalah tersendiri dalam menjaring calon Pemodal. Dengan pembatasan ini maka presentase kepemilikan saham Penerbit tidak dapat dipecah hingga mencapai nilai yang cukup terjangkau calon Pemodal kecil.

Secara sederhana, jika Penerbit menawarkan saham senilai 300 juta rupiah, misalnya, pembatasan maksimal 300 orang (termasuk pemegang saham pendiri perseroan) akan mengakibatkan minimal investasi Pemodal bisa mencapai satu juta rupiah. Apalagi jika penawaran saham dilakukan hingga batas maksimum yaitu sepuluh milyar rupiah, sebagaimana diijinkan dalam Pasal 25 (1) POJK EJF. Nilai ini tentu tidak terjangkau oleh Pemodal kecil atau pemula untuk turut berpartisipasi di pasar perdana.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait